Yogyakarta, 21 Februari 2025 – Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM kembali menggelar seminar Social Development Talks (SODET). SODET kali ini mengambil tajuk “Reframing Land, Infrastructure, and Community in Sustainability Governance”. Melalui tema ini, PSdK mencoba untuk membedah isu tentang pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kaitannya dengan pembangunan serta urbanisasi.

Acara ini menghadirkan Prof. dr. Kei Otsuki, Professor in International Development Studies at Department of Human Geography and Spatial Planning, Utrecht University. Ia mengawali seminar dengan membahas wacana IKN yang bertujuan untuk menjadi forest city yang menjadi simbol keberlanjutan serta smart and inclusive city. Namun, Kei melihat adanya sisi lain dari manifestasi pembangunan berkelanjutan karena dibalik kata indah berkelanjutan terdapat ekstraksi sumber daya terutama sumber air. Pembangunan kota besar ini membutuhkan pasokan air yang besar, tetapi ekstraksi ini justru membuat masyarakat yang sudah tinggal di sana mengalami kesulitan air.
Bahruddin., PhD. Dosen Departemen PSdK juga menyebutkan bahwa berbicara mengenai sustainability memerlukan kolaborasi baik secara veritkal maupun horizontal. Ia menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya ide besar dari pusat saja, tetapi juga perlu diterapkan dari level underground level. “Untuk menciptakan arsitektur yang berkelanjutan dibutuhkan upaya dan perencanaan dari bawah yang didukung oleh regulasi yang mendorong adanya partisipasi dan kolaborasi secara vertikal dan horizontal,” ungkapnya.
Pinurba Parama Pratiyudha, M.A. Dosen Departemen PSdK membahas hal lain terkait pembangunan kota. Ia melihat Yogyakarta menjadi salah satu urban infliux karena dapat menyediakan tempat tinggal yang nyaman, tempat belajar, dan bahkan berwisata. Ia kemudian mengamati adanya segregasi antara masyarakat lokal dengan pendatang.
Namun, di tengah derasnya arus urbanisasi yang membawa perubahan sosial secara mendasar, ia melihat terdapat komunitas masyarakat yang mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Ia melihat komunitas di Kotagede mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa menghilangkan jati dirinya. “Kelompok masyarakat di Kotagede mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang masif tanpa harus menghilangkan identitas uniknya dan justru menjadi potensi bagi mereka untuk dikembangkan,” tutupnya.