Closing Ceremony Talkshow Prakarsa 2021: “Apa Kabar Jogja? Surganya Para Perantau”

Oleh: KAPSTRA FISIPOL UGM

Closing Ceremony PRAKARSA 2021 dikemas dengan acara Talkshow berjudul “Apa Kabar Jogja? Surganya Para Perantau” dan dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2021. Acara tersebut dipandu oleh master of ceremony (MC) yaitu Adzkia Yeza selaku mahasiswi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) angkatan 2020 dan dibimbing oleh moderator dari PSdK angkatan 2021 yaitu Ilham Hanif. Sedangkan sambutan diberikan oleh Ibu Milda Longgeita Br. Pinem., S.Sos., M.A., Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi S1 PSdK.

Talkshow tersebut menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu  Auzan Dalili Rahman selaku ketua organisasi mahasiswa daerah (Ormada) Ikatan Keluarga Gadjah Mada Sumatera Selatan (Ikagamas), Arinus Wantik selaku ketua Ormada Keluarga Mahasiswa Papua Universitas Gadjah Mada (Kempgama), dan Dwikifigo Nugroho sebagai mahasiswa PSdK angkatan 2019 sekaligus Duta Museum Monumen Jogja Kembali 2022. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan seputar pengalaman-pengalaman selama merantau dan keistimewaan Yogyakarta (Jogja) yang dirasakan oleh para narasumber.

Sesi Talkshow yang dipandu oleh Muhamad Ilham Hanif, mahasiswa PSdK angkatan 2021

Auzan Dalili Rahman dalam sesinya berkata bahwa intonasi orang Jogja saat berbicara cenderung lembut, berbeda dengan cara berbicara di kampung halamannya, Palembang, yang cenderung keras. Akibatnya, kalau sedang berbicara teman-temannya kerap mengira bahwa ia sedang marah. Hal ini menjadi salah satu culture shock yang dialami oleh Auzan dan teman-temannya dari Palembang saat pertama kali datang ke Jogja. Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari juga pada awalnya sedikit membuat bingung karena tidak mengerti apa-apa. Namun, pada akhirnya pengalaman seperti itu justru menjadi sarana bagi Auzan untuk “les bahasa” secara gratis. Tata krama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jogja juga menjadi hal yang baru bagi Auzan. 

Saat pertama kali datang ke Jogja, Auzan sudah berekspektasi bahwa akan bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah, mengingat Jogja kerap disebut sebagai miniatur Indonesia. Masalah biaya hidup menjadi salah satu hal di luar ekspektasi Auzan. Sebab, biaya hidup di Jogja sangat mudah, tidak seperti yang ada di kampung halamannya. Selain itu, wisata alam yang ada di Jogja juga sangat mengesankan dan dapat menjadi sarana untuk rehat. Pada akhir sesinya, Auzan mengucapkan bahwa setelah beberapa lama merantau di Jogja, terbukti bahwa Jogja memang membuat betah dan ngangenin.

Selanjutnya, menurut Arinus Wantik hal yang paling berkesan ketika pertama kali datang ke Jogja adalah adanya perbedaan bahasa dan tata krama antara Jogja dengan daerah asal. Dengan adanya perbedaan tersebut membuat Arinus harus melakukan penyesuaian terhadap lingkungannya, seperti di kampus dan di kos. Disebutkan oleh Arinus bahwa Jogja juga memiliki perbedaan aturan tertentu yang di setiap lingkungan daerah-daerah tempat tinggal seperti adanya portal ataupun polisi tidur. 

Sebelum ke Jogja, Arinus memiliki ekspektasi bahwa akan kesulitan untuk menyesuaikan budaya dan perbedaan yang ada di Jogja dengan daerah asal, tetapi ketika sudah menginjakkan kaki di Jogja kekhawatiran tersebut berkurang sedikit demi sedikit karena adanya keramahan masyarakat dan membuat Arinus mudah untuk menyesuaikan hal yang ada. Kemudahan ini juga didukung dari  adanya bantuan-bantuan dari mahasiswa yang sesama perantauan sehingga membuat Arinus memiliki banyak teman. Tidak hanya itu, perbedaan harga juga membuat Arinus menjadi nyaman karena cocok dengan kantong mahasiswa sehingga dapat berhemat. 

Dwikifigo Nugroho selaku narasumber terakhir menyampaikan bahwa masyarakat Jogja memang terdiri dari berbagai macam kebudayaan, hal ini tak lain disebabkan oleh Jogja yang dikenal identik sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya sehingga masyarakat Jogja tidak bisa dipisahkan dengan para perantau. Misalnya, Ketandan (Kampung Cina), Sayidan (didominasi oleh perantau Arab), dan Bugisan (tempat tinggal prajurit Bugis). 

Pesan Dwikifigo pada masyarakat jika ingin merantau ke jogja adalah sebagai seorang perantau tentunya harus menghormati budaya yang ada di tempat yang mereka tempati, termasuk juga Kota Jogja, selaras dengan peribahasa “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung”. Jangan sampai perbedaan budaya menjadi penghalang untuk dapat menjadi dekat dengan masyarakat lain. Sehingga diharapkan para perantau dapat beradaptasi dengan budaya lokal dan dapat menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal.

secara simbolis oleh Milda Longgeita Br. Pinem., S.Sos., M.A., Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi S1 PSdK

Setelah Talkshow, Closing Ceremony PRAKARSA 2021 juga dirayakan dengan pengumuman pemenang lomba esai yang diadakan satu bulan sebelum acara puncak PRAKARSA 2021. Untuk menutup Closing Ceremony diadakan penutupan secara simbolis oleh Ibu Milda Longgeita Br. Pinem., S.Sos., M.A., Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi S1 PSdK. Dengan penutupan simbolik tersebut menandakan telah berakhirnya seluruh rangkaian acara PRAKARSA 2021 yang telah diadakan sejak bulan November 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori