Ekonomi Pilkada

sumber: krjogja.com

Oleh Dr. Hempri Suyatna, Dosen dan Kepala Social Development Studies Centre (SODEC) Departemen PSdK Fisipol UGM

Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 23 Februari 2018

KAMPANYE pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia sudah dimulai dan akan berakhir 23 Juni 2018. Perhelatan pilkada ini harus dimaknai dari aspek ekonomis maupun politik bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dari sisi ekonomis, pilkada menjanjikan potensi ekonomi yang luar biasa bagi pelaku UMKM. Produk-produk seperti kaos, banner, stiker, t-shirt merupakan produk-produk yang banyak diminati di era kampanye pilkada. Peluang pasar yang seharusnya mampu ditangkap pelaku UMKM di Indonesia dengan meningkatkan kualitas, inovasi, keunikan dan kreativitas produk alat-alat peraga kampanye.

Data Bappenas menguatkan bagaimana korelasi positif antara arena kontestasi politik dengan perkembangan UMKM. Pada triwulan pertama dan kedua pada masa kampanye Pilpres 2014 pertumbuhan konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) seperti pembelian kuas, banner dan juga iklan TV mencapai 20%. Selain itu, pada tahun 2014 konsumsi rumah tangga juga tumbuh tinggi dan melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Selain dari aspek dimensi ekonomi, momentum politik di dalam pilkada ini seharusnya juga mampu ditangkap pelaku UMKM. Jargon pro-ekonomi rakyat, pro-masyarakat miskin seringkali muncul dalam arena perdebatan maupun kampanye pasangan calon di pilkada. Untuk menampilkan simbol sebagai sosok pro-rakyat seringkali pasangan calon tersebut juga menampilkan baliho dan alat peraga lainnya yang seolah-olah pro-rakyat. Bahkan intensitas kunjungan ke lokasi-lokasi yang menjadi simbol rakyat mengalami peningkatan di masa kampanye pilkada. Pasar tradisional, kawasan pertanian, nelayan sampai kawasan kumuh menjadi lokasi yang menjadi tempat blusukan kandidat jelang pilkada.

Dalam dimensi politik ini, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa posisi tawar UMKM sangat lemah. Tak jarang mereka hanya menjadi objek dalam pertarungan kepentingan politik ini. Asosiasi-asosiasi bisnis yang diharapkan mampu menjadi mediasi pelaku UMKM ketika berhadapan dengan eksternal ternyata juga tidak memiliki daya karena sebagian dari mereka seringkali sudah dikooptasi untuk kepentingan calon-calon yang bertarung. Hal ini diperparah dengan fakta, banyak ketua-ketua asosiasi bisnis tersebut adalah tim sukses, atau bahkan politisi yang bertarung di dalam pilkada tersebut sehingga politisasi sektor UMKM akhirnya tidak terhindarkan. Kondisi inilah yang menyebabkan sektor UMKM tampak lebih menjadi alat untuk meraih kekuasaan.

Pelaku UMKM harus cerdas di dalam bersikap di dalam memilih. Memilih calon kepala daerah yang benar-benar mempunyai integritas dan jejak rekam terhadap perjuangan UMKM adalah hal yang utama. Pelaku UMKM juga harus tampil sebagai pelopor untuk mencegah terjadinya pragmatisme politik. Kontrak politik dengan para kandidat memang menjadi salah satu solusi untuk itu. Kontrak politik yang dibuat dan visi misi calon kepala daerah harus menjawab isu-isu terkini yang dihadapi sektor UMKM khususnya tantangan disruptif teknologi dan liberalisasi pasar yang semakin meminggirkan peran ekonomi rakyat. Secara konkret, pelaku UMKM di beberapa daerah sangat membutuhkan regulasi yang tegas terkait beberapa isu seperti pembatasan toko modern berjejaring, konversi tanah pertanian, fasilitasi koperasi, fasilitas e-commerce bagi pemasaran pelaku UMKM dan sebagainya.

Soliditas pelaku UMKM sangat dibutuhkan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan calon kepala daerah. Mereka tidak boleh tergoda politik transaksional yang seringkali dimainkan calon kepala daerah berupa iming-iming uang maupun jabatan ketika mereka terpilih. Bahkan, para pelaku UMKM harus mampu menjadi motor penggerak untuk melawan bentuk ñbentuk pragmatisme politik tersebut. Kekuatan dan daya tawar dari pelaku UMKM ini penting agar kongkalikong antara pemilik modal dan calon penguasa yang seringkali terjadi di perhelatan Pilkada dapat diminimalkan. Di tengah politik biaya yang tinggi ini, kongkalikong antara penguasa dan pengusaha besar merupakan sebuah keniscayaan. Kongkalikong ini mungkin tidak dapat dilihat secara nyata akan tetapi bentuk-bentuk dari hasil kongkalikong ini akan dapat dirasakan. Bila terjadi pelaku UMKM hanya akan menjadi korban.

Karenanya, kesadaran kritis dan kemampuan pelaku UMKM untuk mengawasi proses pilkada sangat dibutuhkan. Sehingga pilkada benar-benar bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Bukan sekadar kesejahteraan segelintir elite.

Artikel asli dapat diakses melalui tautan berikut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori