Oleh Tauchid Komara Yuda, Dosen dan Research Associate Departemen PSdK Fisipol UGM
Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Republika, 2 Mei 2017
Lima bulan sudah publik digaduhkan oleh drama politik Jakarta yang cukup sengit. Beragam isu digunakan sebagai senjata sekaligus komoditas politik.
Implikasinya juga luar biasa besar. Tak sedikit masyarakat, baik di Jakarta, maupun di luar Jakarta, ikut tersulut dan mendadak jadi juru kampanye, buzzer, sampai hoax army yang cukup meresahkan. Ihwal fenomena ini ibarat alarm yang menandakan daruratnya keberagaman dan persatuan Indonesia.
Melihat kenyataan demikian, Anies-Sandi sebagai jawara baru Jakarta dibebankan sebuah tanggung jawab moral yang begitu besar yakni menghadirkan politik kebangsaan. Mengingat Jakarta adalah wajah peradaban nasional yang menjadi tolok-ukur barometer demokrasi Indonesia.
Politik kebangsaan dimaknai sebagai komitmen negara membentuk kepercayaan publik antar masyarakat-negara, maupun solidaritas antarwarga, melalui upaya akomodasi atas kepentingan masing-masing entitas dan kelompok masyarakat. Menjadi sebuah keniscayaan apabila politik kebangsaan harus dikedepankan oleh pemerintahan berkuasa dimanapun.
Sejenak melihat sosok Almarhum Gus Dur. Walaupun terbilang kontroversial, kepemimpinan almarhum Gus Dur dalam hal politik kebangsaan patut diacungi jempol. Contohnya, sebagaimana cara pandang Gus Dur terhadap Papua.
Selama ini Papua selalu digambarkan sebagai daerah yang keterbelakangan dalam berbagai hal. Tidak hanya itu, bahkan pemerintah pusat juga kerap mencurigai Papua sebagai entitas yang tidak mau diatur lantaran munculnya kelompok-kelompok separatis.
Dari anggapan demikian, pemerintah sebelumnya maupun sesudahnya selalu melakukan treatment terhadap Papua dengan dua pilihan. Kalau tidak dengan infrastruktur, ya invansi militer.
Faktanya, dua macam cara ini tidak membawa dampak signifikan bagi Papua dalam menumbuhkan kepercayaan kepada negara. Apalagi invansi militer, yang justru semakin menimbulkan semangat perlawanan kepada negara.
Menyadari akan hal ini, Gus Dur memiliki cara ketiga. Ketika banyak rezim melakukan steoreotipe lambang bintang kejora sebagai suatu pengkhianatan negara, Gus Dur justru memandang lambang tersebut sebagai entitas lokal yang perlu diakui, setara dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, atau Aceh misalnya.
Aksi heroik serupa juga pernah dilakukan Gus Dur manakala ia memperjuangkan kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Gus Dur melalui kebijakannya mencabut Inpres nomor 14/1967, dan menggantinya dengan Keppres nomor 6/2000. Kepres tersebut menjadi angin segar bagi etnis Tionghoa untuk mendapatkan haknya, sekaligus menjalankan kewajibannya setara dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Cara Gus Dur memimpin memang sederhana, akan tetapi berdampak besar sebagai modal membangun sebuah negara berlandaskan hati nurani.
Pemimpin Jakarta ke depan semestinya harus belajar dari Gus Dur. Pasalnya Jakarta merupakan miniatur Indonesia. Sehingga jelas memimpin Jakarta sama sulitnya dengan memimpin Indonesia. Dalam suatu wilayah yang plural, pemerintah bukanlah realitas yang terpisah dari masyarakat.
Pemerintah adalah perwujudan diri masyarakat ke level yang lebih tinggi. Penghormatan atas nilai-nilai yang berada di dalam masyarakat harus menjadi pelumas bagi roda pemerintahan. Begitulah politik kebangsaan semestinya dihadirkan untuk Jakarta harmonis dan Indonesia lebih baik.
Artikel asli dapat diakses melalui tautan berikut.