Yogyakarta, 27 April 2021 – Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM mengadakan Social Development Talks (SODET) edisi April dengan judul “Konflik Pertanahan dan Masalah Tenurial yang Tidak Kunjung Diseriusi” pada Kamis (27/04). Diskusi ini menghadirkan pembicara Dosen Fakultas Hukum UGM, Rikardo Simarmata, S.H., Ph.D, yang telah memiliki pengalaman praktis maupun akademik terkait isu ini.
Diskusi dipandu Vandy Yoga Swara, S.Sos., M.A, Dosen PSdK FISIPOL UGM. Vandy Yoga Swara membuka diskusi dengan pemaparan singkat bahwa konflik lahan dan masalah tenurial tidak hanya merupakan masalah hukum semata, namun juga masalah sosial baik secara horizontal maupun vertikal. “Ketidakjelasan regulasi dan hukum atas tanah itu mengakibatkan ketidakamanan secara tenurial dan berdampak pada aspek sosial, termasuk livelihood-nya, mata pencahariannya, bahkan konflik berkepanjangan yang tidak usai sampai saat ini. Konsekuensinya, konflik tenurial ini dapat menyebabkan dan mendorong gerakan-gerakan sosial”. Demikian disampaikan Vandy Yoga Swara.
Rikardo Simarmata memulai pembahasan dengan memaparkan data dan angka konflik pertanahan dan tenurial mengacu pada data Konsorsium Pembaruan Agraria, Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kementerian ATR/BPN. Menurut Rikardo Simarmata, dapat disimpulkan bahwa kondisi konflik pertanahan di Indonesia merupakan masalah serius. Selanjutnya, Rikardo Simarmata memaparkan kasus-kasus konflik pertanahan termasuk penelitian yang telah dilakukannya: kasus orang Dayak Iban di perbatasan Indonesia-Malaysia yang berkonflik dengan pengelola Balai Taman Nasional Danau Sentarum. Menurutnya, yang paling dirugikan dalam konflik lahan tersebut adalah masyarakat lokal. Secara ekonomi masyarakat tidak lagi bebas berkebun sebagai sarana mata pencaharian mereka sehari-hari. Selain itu, masyarakat tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan karena pemerintah enggan membangun fasilitas tersebut mengingat wilayah tempat tinggal mereka masuk ke dalam kawasan taman nasional.
Konflik pertanahan tentunya menyebabkan beberapa dampak yang merugikan masyarakat hampir di seluruh aspek. Menurut Rikardo Simarmata, setidaknya dari riset yang dilakukannya, dampak yang terjadi adalah sumber penghidupan berkurang atau hilang, keretakan sosial karena perpecahan internal, kerugian ekonomi, ketidakpastian hak dan kerusakan lingkungan.
Masalah tenurial atau masalah kepemilikan lahan juga menjadi masalah yang kerap terjadi dalam konflik pertanahan. Menurut Rikardo, akar dari masalah adalah sistem penguasaan tanah di Indonesia yang “unik” dengan pembagian daratan ke dalam dua rezim sistem penguasaan yaitu kawasan hutan di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan bukan kawasan hutan ataupun areal penggunaan lahan lainnya di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. “Akibatnya, lahirlah penyakit birokrasi yang sampai sekarang masih terjadi yaitu tidak adanya keinginan dari lembaga negara untuk melakukan koordinasi secara serius terkait dengan lahan,” imbuh Rikardo. Selain masalah birokrasi tersebut, pemberlakuan prinsip “domein verklaring”, sebuah penataan sistem penguasaan baik di kawasan hutan maupun non kawasan hutan oleh negara mengacu pada hak menguasai negara. Prinsip ini dalam praktiknya menjadi sebuah alat pemerintah untuk menguasai lahan dan hutan yang tidak diklaim oleh perorangan. Akibatnya pendekatan pengukuhan kawasan hutan tersebut bersifat top down dan tidak memungkinkan mengidentifikasi dan mengakomodasi hak-hak atas tanah dari pihak ketiga, termasuk masyarakat adat. “Proses pengukuhan selama ini bisa dikatakan tidak partisipatif,” kata Rikardo.
Dalam penutupnya, Rikardo menyampaikan beberapa catatan penting. Pertama, pemerintah sudah membuat kebijakan dan regulasi namun tujuannya adalah untuk menyelesaikan akibat konflik tenurial. Namun sayangnya, kebijakan dan regulasi tersebut tidak lebih jauh melihat dan mengoreksi sistem tenurial yang memunculkan konflik. Kedua, Undang-Undang Ciptaker 2020 meneruskan regulasi dengan ciri dan tujuan yang sama, yaitu belum bisa menjamin berakhirnya konflik-konflik pertanahan.
Paparan Rikardo Simarmata dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan peserta secara tertulis melalui kolom chat maupun dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada pembicara. Salah satunya, Ilya Moeliono bertanya, “bagaimanakah bayangannya proses partisipatoris yang dapat dilakukan pada skala yang cukup luas mengingat luas, jumlah, dan sebaran kasus konflik?” Rikardo menjawab, proses yang partisipatoris bisa dilakukan pada tahap identifikasi dan deliniasi. Artinya kementerian, lembaga, hingga badan dari pemerintahan yang bertanggung jawab dalam permasalahan lahan dan pertanahan mempersiapkan dan menguatkan kemauan sumber daya manusia pada masing-masing instansi tersebut untuk dapat melakukan aktivitas yang lebih partisipatoris dengan turun langsung ke masyarakat.
Saksikan tayangan diskusi ini melalui kanal YouTube kami.
Penulis: M. Farid Budiono