Webinar Series 5# X KAPSTRA FISIPOL UGM RUU PKS, Riwayatmu Kini: “Polemik Komitmen Negara dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia”

Oleh: Gloria Evanda Fiko

Kementerian Advokasi dan Propaganda Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) berkolaborasi dengan Fisipol Crisis Center (FCC) telah menyelenggarakan kegiatan dengan nama Webinar Series 5# X KAPSTRA FISIPOL UGM pada Jumat, 22 Oktober 2021. Diskusi yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom ini mengangkat tema “RUU PKS, Riwayatmu Kini: “Polemik Komitmen Negara dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia””. Pada kesempatan webinar kali ini, KAPSTRA dan FCC menghadirkan pembicara yang mampu membantu peserta webinar dalam memperdalam wawasan dan pemahaman mereka atas topik terkait. Pembicara-pembicara tersebut diantaranya adalah Maria Ulfah Anshor yang merupakan Komisioner Komnas HAM dan Ulya Niami Efrina Jamson, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Diskusi ini dimoderatori oleh salah satu mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) yaitu Suci Murniati. Webinar ini mengundang antusiasme dari berbagai kalangan masyarakat sehingga alur diskusi berjalan secara interaktif. Hal ini nampak dari keterlibatan aktif peserta dalam sesi diskusi. 

Acara dimulai dengan pemutaran video persembahan dari FCC mengenai isu kekerasan seksual yang dilanjutkan dengan sesi pembukaan dan perkenalan yang dipimpin oleh moderator. Pada sesi pertama, Ulya Niami Jamson, atau yang akrab disapa dengan panggilan Mbak Pipin memaparkan materi mengenai “Telaah Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. Mbak Pipin menjelaskan bahwa isu kekerasan seksual adalah isu publik dan cukup kontroversial, terutama di masyarakat Indonesia. Dengan demikian, apabila kita berbicara mengenai RUU PKS, maka kita harus siap untuk menuai tanggapan baik secara pro maupun kontra dari masyarakat. Apabila kita mundur pada waktu yang lebih lampau, kita dapat melihat bahwa peran perempuan terhadap pembangunan bangsa telah ada sejak lama dan memberikan dampak yang signifikan. Meskipun demikian, perlindungan dan validasi kekerasan seksual terhadap perempuan nyatanya masih belum terwujud di Indonesia. Bahkan kasus kekerasan seksual di Indonesia terkesan dinormalisasi sehingga kurang mendapatkan perhatian. Untuk menyelesaikan masalah mengenai kekerasan seksual sangat diperlukan peran yang terintegrasi dari berbagai pihak. 

Mbak Pipin kemudian melanjutkan pemaparannya mengenai peran akademisi dalam menjelaskan dan mengubah perspektif masyarakat mengenai relasi kuasa, baik dari sudut pandang akademisi maupun dari sudut pandang korban. Selain itu, terdapat peran pemerintah, dalam hal ini adalah DPR, untuk mendukung pengesahan RUU PKS sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Sayangnya, pembahasan ini seringkali berada pada konflik kepentingan, antara kepentingan rakyat dan kepentingan partai politiknya, atau kepentingan para elit. Peran pemerintah dalam pengesahan RUU PKS masih mengalami jalan terjal, mulai dari kepentingan siapa yang menjadi dasar pembahasan isu terkait, elektabilitas yang masih dipertanyakan, upaya-upaya ekstra parlementarian yang masih menjadi sesuatu yang abstrak, serta harapan bahwa implementasi RUU PKS dapat menyentuh semua kalangan masyarakat. Disini, peran negara menjadi penting untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual, mulai dari menghormati hak asasi korban, melakukan tindakan pencegahan, dan melakukan penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual. 

Pada sesi kedua, forum dipimpin oleh Maria Ulfah Anshori, atau yang akrab disapa dengan panggilan Ibu Maria, selaku pembicara. Ibu Maria banyak menjelaskan mengenai peran Komnas Perempuan dan kaitannya dengan isu kekerasan seksual karena beliau adalah Komisioner Komnas Perempuan. Beliau menjelaskan bahwa Komnas Perempuan lahir karena adanya Tragedi Kekerasan Mei 1998 yang mendorong Presiden Habibie untuk mengeluarkan Keputusan Presiden untuk segera mendirikan lembaga yang mampu mengatasi tindakan kekerasan seksual. Komnas Perempuan memiliki mandat yang harus diemban sebagai sebuah institusi, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan yang berdasarkan dengan perspektif gender dan memberikan masukan-masukan kepada pemangku kebijakan sehingga tidak bersifat diskriminatif secara gender. Dalam proses pengesahan RUU PKS, Komnas Perempuan berperan sebagai salah satu penggagas bersama dengan Lembaga Pengada Layanan. 

Suasana Sekolah Advokasi

Komnas Perempuan melihat bahwa korban kekerasan seksual mengalami hambatan ketika mencari keadilan. Hal ini misalnya dikarenakan oleh KUHP yang hanya menetapkan lima (5) alat bukti yang menyulitkan korban dalam memenuhi syarat pembuktian. Selain itu, korban juga kerap disalahkan dan diberi stigma yang buruk, baik oleh  aparat, komunitas, bahkan oleh keluarganya sendiri. Korban juga dapat mengalami trauma berulang setiap menghadapi proses pengadilan, bahkan sering kali dilaporkan kembali atau dikriminalkan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan lain-lain. Korban juga seringkali tidak mendapatkan pendampingan karena tidak diatur dalam KUHP. RUU PKS hadir untuk mengisi kekosongan demi mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi. Dalam RUU PKS, terdapat undang-undang yang mengatur proses pemulihan, baik pemulihan secara fisik maupun secara psikologis sebelum proses persidangan, pemberian informasi mengenai hak-hak korban, proses peradilan, layanan pasca peradilan dan seterusnya. Selain itu, untuk mencegah terjadinya keberulangan pada tindakan kekerasan seksual, maka sangat diperlukan upaya rehabilitasi, seperti memberikan pemahaman bahwa perempuan bukan objek seksual. 

Pada saat ini, tahapan RUU PKS masih pada tahap penyusunan yang sudah disahkan di Baleg. Detail mengenai status kontrak pengesahan RUU PKS pada periode DPR tahun 2019-2024 yaitu pada tanggal 17 Desember 2019, lalu dibahas kembali pada periode DPR yang sekarang adalah pada 14 Januari 2021. RUU PKS didaftarkan dalam Prolegnas Prioritas 2021 dengan Baleg sebagai inisiator. Lalu, masuk ke tahap kedua, yaitu tahap penyusunan yang dilakukan oleh tim tenaga ahli pada tahap Baleg. Selanjutnya adalah menunggu pengesahan draft RUU dalam Rapat Pleno Paripurna DPR dan akhirnya menunggu mendapatkan surat dari presiden. Berkaitan dengan proses pengesahan RUU PKS, Komnas Perempuan memberikan beberapa tanggapan. Melihat dari draft yang dikeluarkan Baleg pada tanggal 30 Agustus 2021, terdapat beberapa kemajuan, seperti misalnya sistematika pidana khusus internal yang disetujui, judul RUU yang berubah menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perumusan tindak pidana kekerasan seksual, dibentuknya tracking system, kebijakan perihal pembuktian kekerasan seksual, hak, restitusi, dan pendampingan korban dan saksi terkait dengan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Selain itu, ada perihal pencegahan yang aspek-aspeknya meliputi berbagai sektor, yaitu partisipasi masyarakat terutama peran keluarga, masyarakat, dan tokoh agama yang didorong untuk memberikan pencegahan terhadap tindakan kekerasan seksual. 

Ada hal-hal yang sudah berprogres dengan baik, namun masih terdapat hal-hal lain yang perlu disempurnakan lagi, seperti penguatan rumusan unsur dari tindak pidana eksploitasi seksual, perumusan kekerasan gender berbasis siber, penegasan tindak pidana kekerasan seksual di luar hubungan suami istri, elemen untuk upaya pencegahan kekerasan seksual, dan penegasan kembali tentang perlindungan hak korban. Kita perlu memberikan dorongan bahwa RUU PKS tidak perlu menunggu RUU KUHP untuk disahkan, hal ini dikarenakan, sampai sekarang pembahasan mengenai RUU KUHP tidak kunjung selesai sehingga dikhawatirkan akan menghambat disahkannya RUU PKS. Terdapat beberapa poin yang disampaikan oleh Komnas Perempuan sebagai rekomendasi terhadap Baleg. Rekomendasi-rekomendasi tersebut antara lain adalah: 

a. Melanjutkan proses penyusunan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai dengan proses penetapannya sebagai UU yang siap untuk diimplementasikan.

b. Melakukan penyempurnaan sejumlah ketentuan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan mempertimbangkan daya kemanfaatan dan efektivitas rumusan norma berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual dan hambatan yang dialami untuk mengakses keadilan.

c. Melanjutkan membuka ruang aspirasi dari kelompok masyarakat yang selama ini bekerja langsung dalam hal penanganan korban kekerasan seksual, khususnya lembaga bantuan hukum, lembaga pendampingan korban, dan komunitas para penyintas (apresiasi yang sebesar-besarnya kepada akademisi, keluarga korban, dan lembaga layanan yang terus memperjuangkan RUU ini setelah kegagalan selama dua dekade dengan memberikan masukan dan mengawal proses legislasi agar orientasi berpihak pada kepentingan korban).

Saat ini, menurut penuturan dari Ibu Maria, situasi RUU PKS secara politik, baik di DPR maupun di pemerintah sudah menerbitkan menunjukkan progress dengan terbitnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selama proses ini berlangsung, di dalam forum DPR, terdapat partai pengusul RUU terkait, yaitu Partai Nasdem dan PDI Perjuangan. Selanjutnya, terdapat partai yang memutuskan untuk menjadi pihak yang ikut mengawal RUU terkait, yaitu partai PPP, Golkar, Gerindra, Demokrat dan PAN. PKS memutuskan untuk menjadi partai yang menolak pengesahan RUU PKS. Lalu, dibentuk Gugus Tugas yang bertujuan untuk mendorong proses pembahasan RUU PKS. Gugus ini berfungsi untuk mengawal kinerja politik, aspek substansi maupun komunikasi media agar pembahasan RUU PKS berlangsung secara efektif dan dapat segera diundangkan. Gugus Tugas ini beranggotakan kementerian-kementerian terkait dan juga Kepolisian Indonesia dan Kejaksaan Agung. Apabila melihat situasi yang ada di  luar DPR, terdapat dukungan dari jaringan lembaga masyarakat sipil dan jaringan akademisi yang masih terus mengawal dan mendukung pengesahan RUU PKS. Ada pula dukungan dari KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) dan jaringannya, Muhammadiyah, PPI, dan ormas keagamaan lainnya juga turut serta berpartisipasi memberikan dukungannya. Dukungan dari media dan sebagian dunia usaha juga turut serta dalam kampanye mengawal RUU PKS. 

Kedua pembicara dalam webinar ini memaparkan materinya secara komprehensif khususnya dalam menjelaskan jatuh bangun RUU PKS sebagai payung hukum bagi korban-korban tindakan kekerasan seksual. Penjelasan yang diberikan secara runut dan mudah dipahami membantu para peserta untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam lagi. Pemaparan dari para pembicara yang dibungkus dengan pas mengundang antusiasme peserta untuk mengutarakan pendapat mereka dan juga bertanya untuk mendalami pemahaman mereka dari materi yang sudah dijelaskan. Webinar ini bertujuan untuk membangun kesadaran kritis bagi masyarakat mengenai urgensi kebijakan yang mengatur tentang kekerasan seksual yang terjadi. Semoga hal ini bisa menjadi pemantik bagi gerakan yang lebih besar lagi dalam mengupayakan masyarakat yang lebih beradab dan inklusif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori