Salah satu masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Masalah ini perlu mendapat perhatian yang lebih karena kesejahteraan guru berkaitan dengan kinerja mengajar yang mereka hasilkan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh kesiapan guru melaksanakan perannya sebagai pendidik sekaligus pengajar yang memberikan seperangkat pengalaman belajar siswa di sekolah (Dadang, 2020). Guru honorer merupakan bukti dari rendahnya kesejahteraan guru dimana gaji mereka jauh lebih rendah dibanding guru yang berstatus ASN. Jika dilihat kembali, guru tidak hanya dituntut memberikan pelajaran kepada murid, namun juga beragam hal seperti asesmen, administrasi, dan sederet tugas lainnya diluar mengajar. Sayangnya beban pekerjaan yang mereka tanggung tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Seringkali kita mendengar guru yang hanya digaji ratusan ribu per bulan, yang jumlahnya jauh dari standar UMR. Banyak guru dengan pendidikan tinggi setingkat sarjana yang berpenghasilan di bawah Rp. 1.000.000/bulan. Bahkan pada tahun 2018, ada guru di Indonesia yang hanya mendapatkan penghasilan Rp. 200.000/bulan (Indra, 2018). Kondisi demikian diromantisasi dengan ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa yang disematkan kepada guru di Indonesia. Tanpa disadari, ungkapan tersebut ini berubah menjadi kekuatan kultural dan sosial yang membentuk identitas guru (Indra, 2018). Akibatnya, ungkapan ini seakan-akan menjadi pembenaran atas justifikasi kurangnya kesejahteraan guru dan menggiring sikap fatalistik yang mengekang kesempatan guru untuk memiliki kehidupan yang layak. Pemerintah sudah meluncurkan program Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dengan harapan guru honorer bisa menyamai PNS dalam hal pendapatan. Akan tetapi, program ini masih diperdebatkan karena mengharuskan guru honorer yang berusia tua bersaing dengan guru yang lebih muda.
Kesejahteraan guru merupakan salah satu faktor terselenggaranya pendidikan yang baik. Agar kinerja guru meningkat maka perlu diusahakan kondisi yang layak diantaranya adalah insentif, pendapatan, serta rasa aman dan kemakmuran (Wahyudin, 2020). Maka dari itu, pemerintah diharapkan memiliki komitmen serius dalam mengatasi permasalahan ini dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Penulis : Darma Putra Kusuma W (Staf Divisi Pengembangan Wawasan dan Keilmuan)
Penyunting : Divisi Pengembangan Wawasan dan Keilmuan
References
Fauzan, G. A. (2021). Guru Honorer dalam Lingkaran Ketidakadilan. Journal on Education, 4(1), 197-208. https://doi.org/10.31004/joe.v4i1.418
Gunawan, I. (2018). Hubungan Sebab Akibat Ungkapan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa terhadap Identitas dan Kesejahteraan Guru di Indonesia. Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(2), 123-130. https://doi.org/10.17509/pdgia.v16i2.11296
Mansir, F. (2020). Kesejahteraan dan Kualitas Guru Sebagai Ujung Tombak Pendidikan Nasional Era Digital. Jurnal IKA PGSD (Ikatan Alumni PGSD) Unars, 8(2), 293-303. https://doi.org/10.36841/pgsdunars.v8i2.829
Wahyudin, D. (2020). Pengaruh Tingkat Kesejahteraan Guru dan Beban Kerja Guru Terhadap Kinerja Guru. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 5(2), 135-148. https://doi.org/10.32678/annidhom.v5i2.4672