Diskusi Online #1: Refleksi dan Efektivitas Penanganan Korupsi di Indonesia

Yogyakarta, 29 April 2021-Kementerian Keilmuan Keluarga Mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) baru saja menyelenggarakan Diskusi Online #1 dengan sukses dan lancar. Dengan memilih tema bertajuk “Refleksi dan Efektifitas Penanganan Korupsi di Indonesia” ini, KAPSTRA melalui Kementerian Keilmuan berusaha untuk mengupas isu korupsi yang kini sedang hangat diperbincangkan yang tentunya relevan dengan studi yang ada di PSdK. Diskusi menarik ini diselenggarakan secara daring melalui platformZoom pada (29/04), dengan menghadirkan Wana Alamsyah, Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesia Corruption Watchsebagai pembicara dan dipandu oleh Fachrurizal Mahendra S. sebagai moderator.

Diskusi Online #1 ini dihadiri oleh berbagai partisipan yang berasal dari kalangan civitas akademika, siswa SMA hingga masyarakat umum.

Diskusi dimulai dengan sambutan dari Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si selaku kepala departemen PSdK Fisipol UGM. Dalam sambutannya, Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si menjelaskan bahwa korupsi merupakan kegiatan tidak terpuji. Hal ini masih sering terjadi meskipun telah diberikan stimulasi. Dalam Diskusi Online ini kita akan mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diantisipasi agar tidak terjadi tindakan korupsi. Korupsi dapat muncul ketika ada kesempatan, bukan hanya uang yang dapat dikorupsi tetapi juga waktu. Hal inilah yang menjadi refleksi bagi kita semua agar dapat tepat dan disiplin waktu.

Kemudian, dilanjutkan dengan pemaparan dari Wana Alamsyah selaku narasumber dalam Diskusi Online #1 kali ini. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh ICW memiliki dua periode pemantauan, yaitu semester 1 dan semester 2. Ada tiga pendekatan dari luar yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk melihat tingkat korupsi, yang pertama dengan Corruption Perception Index, dimana Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2019 dengan skor 85 ke 2020 dengan skor 102. Semakin tinggi index persepsi korupsi semakin buruk kasus Korupsi disuatu negara. Yang kedua dengan Global CorruptionBarometerdimana Indonesia berada pada posisi 64 persen pada 2017 dan 65 persen pada 2020. Pendekatan yang ketiga menggunakan Rule of Law Index. Pada pendekatan ini menjadi rujukan bagi ICW mengenai kinerja dari instansi penegak hukum dalam menangani korupsi. Pada 2019 Indonesia berada pada posisi 97 dengan indeks 0,38 dan pada 2020 memiliki posisi membaik menjadi 92 dengan indeks 0,39. Rendahnya kenaikan pada indeks ini, yang hanya 0,01, mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi belum sistematis.

Selain itu, terdapat data dari dalam negeri diantaranya dari Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK sebagai instansi penegak hukum dalam permasalahan Korupsi. Penilaian kinerja penindakan kasus korupsi dapat dihitung menggunakan perbandingan sebagai berikut.

(Penindakan Kasus Terpantau / Target Penindakan) x 100% = % kasus yang ditangani.

Predikat A atau sangat baik (skor 81-100), Predikat B atau baik (skor 61-80), Predikat C atau cukup (skor 41-60), Predikat D atau kurang (skor 21-40), Predikat E atau sangat buruk (skor 0-20). Pada hal ini, kinerja Penindakan kasus korupsi yang dinilai menurut ICW menyatakan bahwa penegak hukum Indonesia memperoleh predikat E atau sangat buruk dalam penindakan kasus Korupsi.

Tren Penindakan Korupsi di Indonesia pada 2015-2020 mengalami penurunan dalam jumlah kasus dan tersangka, namun berkebalikan dengan kerugian yang dihasilkan yang justru naik tajam. Permasalahan pengelolaan anggaran terdapat pada pengawasan yang lemah. Hal ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan seperti modus penggelapan dana, pengadaan barang yang sudah dibayarkan namun barangnya belum ada, dan manipulasi saham. Sektor Anggaran Desa menjadi sektor yang paling banyak menyumbang kasus Korupsi dengan 129 kasus. Disusul pemerintahan dengan 44 kasus dan yang unik terdapat 16 kasus pada sektor kesehatan dengan 4 diantaranya terkait Covid-19. Pada 2020 sektor anggaran Desa mengalami peningkatan karena aparat lebih cepat memproses kasus di tingkat desa daripada kasus yang terjadi pada Dewan.

Korupsi dilihat dari aktor, ASN menempati peringkat pertama dengan 272 tersangka disusul Swasta dengan 174 dan kepala desa dengan 132. Hal menyedihkan terjadi pada kepala desa yang menggunakan modus penggelapan uang pembangunan desa untuk keperluan pribadi sebagai contoh untuk trading forex. Lebih parah pada 2021 terdapat kasus yang menyelewengkan dana desa tersebut untuk Judi kepala desa. Hal ini yang mengindikasikan lemahnya pengawasan pada tingkat bawah sehingga terdapat banyak kasus yang terjadi pada penyelewengan dana desa.

Efektifitas kinerja penegak hukum di Indonesia dalam menangani kasus korupsi dilihat dalam tiga indikator, yaitu kuantitas, kualitas, dan profesionalitas. Terdapat tiga instansi penegak hukum sebagai berikut:

  1. Kejaksaan

Secara umum terdapat penurunan penindakan kasus korupsi, tetapi terjadi peningkatan kerugian. Sedangkan secara kuantitatif terdapat 517 kantor Kejaksaan dengan target 566 kasus dengan anggaran 75,3 M Rupiah. Sampai pada 2020 semester akhir terdapat 259 kasus yang ditangani Kejaksaan dengan persentasi mencapai 46 persen. Dalam hal ini Kejaksaan memperoleh predikat C atau cukup baik dalam menangani korupsi. Secara kualitatif terdapat 222 kasus baru, 34 kasus pengembangan, dan 3 kasus OTT. terdapat 22 kasus di BUMN dan 16 diantaranya ditangani oleh Kejaksaan. Secara profesionalitas terdapat kejaksaan yang tak menangani korupsi. seperti Kejati atau Kejaksaan Negeri perlu dievaluasi. selain itu, terdapat dugaan suap pada Mahkamah Agung sehingga diduga tidak independen dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

  1. Kepolisian

Pada data yang disajikan oleh pemateri, terdapat fluktuasi penindakan kasus Korupsi. Secara kuantitatif terdapat 483 kantor kepolisian di seluruh Indonesia. Target yang diharapkan oleh kepolisian adalah 1539 kasus dengan anggaran 277 Miliar Rupiah. Namun pada 2020 hanya terdapat 170 kasus yang ditangani atau sekitar 8 persen. Pada penilaian menurut persamaan, Kepolisian memperoleh predikat E atau sangat buruk dalam penindakan kasus Korupsi. Secara kualitatif terdapat 151 kasus baru, 14 kasus pengembangan, dan 5 kasus OTT. Penindakan kepolisian berada di tingkat desa dan bukan di Kabupaten/Kota. Secara profesionalitas terdapat kepentingan dibalik penanganan. Selain itu, terdapat ketidakjelasan penyelewengan pada kasus Covid-19.

  1. KPK

Sebagai institusi penyidik kasus Korupsi, KPK mengalami signifikansi dalam penindakan pada 2015-2019. Akan tetapi, pada 2020 terjadi penurunan kinerja. Hal ini selaras dengan adanya Revisi UU KPK dan Integritas ketua KPK yang menjadi polemik masyarakat karena ditunjuk langsung oleh Presiden. Secara kuantitatif KPK kini memperoleh predikat E dengan 13 persen penanganan. Secara kualitatif, KPK menangani 7 kasus OTT, 7 kasus pengembangan. Lambatnya proses pengembangan kasus menjadi perhatian dan langkah strategis untuk kinerja KPK dalam membongkar setiap aktor. Sebagai contoh hilangnya aktor pada kasus Bansos seperti AH, dan politisi partai lainnya. Secara profesionalitas terdapat pelemahan transparansi dan akuntabilitas. Kasus Carry Over, terdapat kasus yang dilanjutkan ke Persidangan dan kasus berpotensi SP3. Sebagai contoh kasus yang di SP3-kan adalah dugaan BLBI. Banyaknya kebocoran surat tugas juga mempengaruhi profesionalitas KPK yang menurun.

ICW juga memberikan rekomendasi situs yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh informasi seputar korupsi, diantaranya tools: opentender.netdan e-learning: akademi.antikorupsi.orguntuk akses modul materi anti korupsi.

Oleh: Kapstra Fisipol UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori