Oleh: KAPSTRA FISIPOL UGM
Yogyakarta, 23 Juli 2021– Kementerian Keilmuan dari Keluarga Mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra) telah menyelenggarakan kegiatan dengan nama Diskusi Online #2, pada Jumat (23/07). Diskusi ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom dengan tema “Bincang Tipis-Tipis Pendidikan yang Humanis”. Pada kegiatan Diskusi Online #2 ini, Kementerian Keilmuan menghadirkan Toto Rahardjo, Pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta dan Zita Wahyu Larasati, S. Sos., M.A, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, serta Roichan Rochmadi Irwanto sebagai moderator.
Diskusi Online #2 dihadiri oleh berbagai kalangan baik dari akademisi, mahasiswa, siswa, hingga masyarakat umum. Diskusi dimulai dengan sambutan dari Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si selaku Ketua Prodi Sarjana Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM. Beliau menjelaskan bahwa karakter humanis perlu diterapkan pada ranah pendidikan. Anti-bullying menjadi contoh tidak adanya karakter humanis yang terinternalisasi dalam peserta didik. Seringkali berbagai candaan yang dilontarkan kepada sesama teman mengandung unsur yang sensitif sehingga orang lain merasa sakit hati. Beliau juga menjelaskan bahwa perilaku bullying terjadi pada berbagai level pendidikan, mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi yang lambat laun menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap wajar.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber pertama, yaitu Zita Wahyu Larasati, S. Sos., M.A,. Sebelum masuk pada materi utama beliau sempat menceritakan sebuah film berjudul Taare Zameen Par. Film tersebut menceritakan mengenai seorang anak bernama Ishaan yang menerima perundungan dan dikucilkan karena menderita disleksia. Oleh karena itu, ia dimasukkan ke asrama oleh orang tuanya dengan harapan sikap yang dimiliki Ishaan dapat berubah, namun yang terjadi justru ia merasa tertekan. Suatu ketika datang seorang guru yang melihat keistimewaan di dalam diri Ishaan. Ia mencoba menjelaskan kepada orang tuanya bahwa Ishaan memiliki kekhasannya sendiri dalam proses belajar yang tidak bisa disamaratakan dengan anak lainnya. Pada poin ini beliau mencoba menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan terdapat 4 unsur penting, yakni:
- Anak atau peserta didik,
- Orang tua,
- Lingkungan,
- Guru, dosen, atau kurikulum (sekolah atau universitas).
Pelaku dalam dunia pendidikan memiliki posisi yang sama (egaliter), yang mana tidak ada yang menjadi subjek bagi objek lainnya. Beliau melihat pada tataran proses, pendidikan mengalami penyempitan makna menjadi sekolah. Sekolah/scholae yang berarti menghabiskan waktu luang di mana sekolah digunakan untuk mengisi waktu luang peserta didik dan bukannya terbelenggu atau mengalokasikan sebagian waktu untuk kegiatan tersebut.
Selanjutnya, beliau menjelaskan mengenai pendidikan bergaya bank yang diperkenalkan oleh Paulo Freire. Freire melihat dalam proses pendidikan guru menjadi tokoh sentral ilmu dan murid dianggap sebagai kertas kosong yang harus diisi oleh guru. Hal tersebut berbeda dengan pendidikan gaya ayam yang diperkenalkan oleh Wahono. Anak ayam ketika diajari oleh induknya untuk mencari makan tidak serta merta diberi hasil instan, tetapi justru diberikan pemahaman melalui contoh yang disesuaikan dengan keadaan. Menurut Wahono inilah proses pendidikan yang memerdekakan. Pada posisi ini, guru tidak dilihat sebagai si maha tahu , tetapi sebagai fasilitator yang bersama-sama dengan murid memproduksi pengetahuan bersama.
Pada sesi selanjutnya, Toto Rahardjo menjelaskan mengenai SALAM, yang hadir untuk mempertahankan unsur penting pendidikan. Pendidikan yang memerdekakan dan tidak tersentral pada kurikulum maupun mata pelajaran menjadi landasan SALAM dalam mewujudkan kemerdekaan belajar. Humanitas timbul dari pendidikan pada tingkat keluarga dan lingkungan yang dapat membentuk manusia menjadi berfungsi terhadap kehidupannya. Keluarga merupakan fungsi utama dan pertama dalam proses pendidikan anak. Selain itu, lingkungan turut mendukung proses pendidikan karena sumber pengetahuan lahir dari lingkungan sekitar.
Hadirnya pandemi COVID-19 mengubah sistem pendidikan yang semula berpusat pada sekolah, kini berpusat pada keluarga. SALAM sudah menerapkan sistem ini sejak 21 tahun yang lalu dalam mewujudkan pendidikan yang merdeka. Ilmu-ilmu dan materi yang diberikan tidak jauh dari kehidupan sekitar peserta didik. Hal ini bertujuan untuk memberikan wawasan berdasarkan masalah nyata dalam kehidupan.
Pada akhir penjelasan juga dipaparkan mengenai riwayat aturan wajib sekolah dari waktu ke waktu. Pada era Yunani Kuno kepatuhan dan ketertiban sangat diterapkan yang mana menurut beliau kepatuhan dan ketertiban merupakan musuh dari humanitas. Masuk pada abad ke-19, mulai terjadi penyeragaman dunia pendidikan dengan kental. Tidak seperti abad sebelumnya saat proses pendidikan lebih sering terjadi pada ranah keluarga maupun komunitas. Pada akhirnya, sistem pendidikan yang kini ada merupakan hasil dari proses panjang yang terjadi di masa lampau.