Oleh: KAPSTRA FISIPOL UGM
Kementerian Keilmuan Keluarga Mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) menyelenggarakan Diskusi Online ke-3 dengan mengangkat tema kesejahteraan pada Jumat (26/11). Topik kegiatan yang diusung dalam diskusi ini yaitu ‘Menyingkap Makna Lain Dalam Kesejahteraan’. Kegiatan ini dihadiri oleh peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Diskusi Online (DISKON) #3 ini menghadirkan 2 pembicara, yang pertama adalah Doddy Bagus Jatmiko, S.E.Akt (Kepala Subbidang Kesejahteraan Rakyat Bidang Sosial dan Budaya BAPPEDA Provinsi D.I. Yogyakarta) dan Rezaldi Alief Pramadha, S.E., M.S.S. (Dosen PSdK Fisipol UGM). Acara ini dimoderatori oleh 2 mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, yaitu Nurul Hidayatun Nazah dari PSdK 2020 dan Muhammad Khoirul Rizal dari PSdK 2021.
Tujuan pelaksanaan acara ini adalah yang pertama membahas Gini Ratio, IPM, dan Indeks Kebahagiaan sebagai indikator kesejahteraan. Kedua membahas mengenai studi kasus D.I. Yogyakarta dengan ketimpangan dan kemiskinan yang cukup tinggi namun memiliki tingkat kebahagiaan tinggi. Yang ketiga adalah membahas faktor budaya dan nilai yang mempengaruhi psikologis masyarakat Yogyakarta dalam memaknai kesejahteraan. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring menggunakan aplikasi teleconferences Zoom Meetings.
Acara diawali dengan sambutan perwakilan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, yang pada kesempatan ini diwakili oleh Dosen Pembimbing KAPSTRA yaitu Zita Wahyu Larasati, S.Sos., M.A. atau kerap disapa Mba Zita. Mba Zita dalam sambutannya menjelaskan mengenai indikator yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan, upaya-upaya yang perlu dilakukan, dan bagaimana langkah untuk menyingkap makna lain dalam kesejahteraan. Sebelum pemaparan materi oleh narasumber dimulai, moderator melakukan pemantikan dengan memaparkan makna kesejahteraan yang selama ini sering dipandang dari dimensi ekonomi saja, seperti kemiskinan maupun ketimpangan. Padahal terdapat masyarakat di Provinsi D.I. Yogyakarta yang memiliki tingkat ekonomi rendah, namun hidup dengan bahagia.
Sesi selanjutnya adalah pemaparan materi disampaikan oleh Doddy Bagus Jatmiko, S.E.Akt atau kerap disapa Pak Doddy selaku narasumber pertama. Disinggung mengenai sumber daya manusia di Provinsi D.I. Yogyakarta yang unggul, namun diakui kalah dalam sektor ekonomi. Ada beberapa indikator yang membuat Provinsi D.I. Yogyakarta baik, yaitu dilihat dari indeks kebahagiaan, pembangunan pemuda, pembangunan kebudayaan, dll. Jika ditinjau lebih dalam terdapat wilayah kabupaten/kota yang unggul didalam Provinsi D.I. Yogyakarta yaitu di Kabupaten Sleman dan di Kota Yogyakarta yang menempati kabupaten dan kota dengan indeks pembangunan manusia tertinggi di Indonesia. Selain itu, terdapat kabupaten/kota yang masih tertinggal dalam Provinsi D.I. Yogyakarta yaitu Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan daerah yang berada di posisi tengah adalah Kabupaten Bantul.
Pada sesi ini beliau juga mengatakan bahwa tingkat kesenjangan di desa lebih baik daripada di perkotaan yang memiliki gap ketimpangan yang besar. Masyarakat lebih bergantung pada sektor akomodasi dan konstruksi dalam segi perekonomiannya, seperti sektor konsumsi pada wisatawan, migran, dan pendatang. Lalu dalam indeks Angka Harapan Hidup (AHH) menempati angka tertinggi di Indonesia, namun jumlah lansia juga tinggi dan disaat yang bersamaan terdapat angka PTM (Penyakit Tidak Menular) yang dapat disimpulkan bahwa ketergantungan lansia itu juga tinggi. AHH, Harapan Lama Sekolah, dan indikator lainnya secara nasional Provinsi D.I. Yogyakarta tergolong tinggi, namun masih belum sesuai dengan rencana.
Dalam sesi selanjutnya beliau menjelaskan bahwa ada dua hal yang diharuskan untuk melakukan intervensi, pertama untuk menurunkan angka kemiskinan sesuai survei BPS dan yang kedua adalah benar-benar mengentaskan permasalahan kemiskinan. Selama ini, angka kemiskinan dihitung dari faktor konsumsi, yang mengakibatkan akan difokuskannya pada penyempurnaan data tunggal dan sistem bantuan sosial agar tepat fungsi dan sasaran. Selain itu, untuk pengukuran kesejahteraan juga diukur dari riil ekonomi. Bapak Doddy memberikan contoh seperti kasus di desa, banyak hasil survei yang menyatakan warga desa tergolong miskin, padahal sebenarnya warga desa termasuk orang yang memiliki aset. Hal ini disebabkan karena pengukuran yang tidak sesuai karena hanya mengukur pada tingkat konsumsi warga dan bukan aset yang mereka miliki. Selanjutnya, warga desa memiliki karakter yang secara psikologis merasa dirinya cukup dan ditambah dengan karakter rendah hati masyarakat desa yang menyebabkan mereka hidup prihatin.
Pada sesi pemaparan materi kedua, yaitu Rezaldi Alief Pramadha, S.E., M.S.S., atau kerap disapa Mas Rezaldi memulai dengan memaknai kembali kesejahteraan. Didahului dengan definisi kesejahteraan dalam UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan tidak bisa dilihat dari segi ekonomi tapi juga bisa dilihat dari segi psikologi. Indikator kesejahteraan tersebut bukan dilihat dari ekonomi namun lebih ke segi sosial. D.I.Yogyakarta mempunyai indikator kebahagiaan tinggi karena kondisi sosialnya lebih baik daripada provinsi yang lain. Beliau juga memaparkan mengenai perkembangan pengukuran kesejahteraan diawali dengan PDB, purchasing power parity, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, indeks pembangunan manusia, indeks kebahagiaan, utilitas, dan capability to function.
Perkembangan ideologi filsafat barat yang membawa karakter individualis yang berbasis pada solidaritas organis industri bertarung dengan filsafat timur yang lebih menekankan pada hubungan kolektivitas sosial. Kebalikan ini dinamakan East Asia Happines Gap yang kontradiktif saat mereka memiliki kebahagiaan yang menurun apabila pendapatan meningkat. Hal ini menyebabkan pandangan masyarakat terhadap kesejahteraan yaitu dengan menghindari penurunan kesejahteraan daripada meningkatkan kesejahteraan, seperti menghargai kehilangan daripada peningkatan. Banyak juga anggapan bahwa miskin karena prihatin, sebenarnya mereka bisa sejahtera tapi tetap memilih untuk hidup prihatin. Masyarakat Asia lebih kolektif ketika adanya ancaman yang mengancam eksistensi mereka. Menjaga hubungan sosial terhadap komunitas merupakan siasat untuk menghadapi ancaman bencana sosial karena masyarakat Indonesia masih bergantung pada peran komunitas.