Oleh: Dita Syavira Balqis Nur Rahma, Muhammad Yasin, Salma Sa’adah, dan Siti Nurwulan Syahita
Yogyakarta, 30 Mei 2021– Kementerian Advokasi dan Propaganda Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) berkolaborasi dengan Divisi Advokasi Masyarakat Dewan Mahasiswa (DEMA) FISIPOL telah menyelenggarakan kegiatan dengan nama Eunoia x Sekolah Advokasi pada Minggu (30/05). Diskusi yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom ini mengangkat tema “Menyingkap Problematika Labelisasi Terorisme KKB di Papua”. Pada kesempatan ini, KAPSTRA dan DEMA menghadirkan pembicara di antaranya adalah Veronica Koman yang merupakan advokat, Yance Yobee dari Aliansi Mahasiswa Papua, dan Andreas Harsono dari Human Rights Watch. Diskusi ini sendiri dimoderatori oleh salah satu mahasiswa FISIPOL UGM yaitu Siti Nadhira Sulaiman. Berbagai kalangan antusias dengan kegiatan diskusi ini, mulai dari mahasiswa, akademisi, aktivis, jurnalis hingga masyarakat umum. Antusiasme tersebut dapat dilihat sejak hari pertama dibukanya pendaftaran peserta di mana kuota peserta yang hanya dibatasi 100 dapat terpenuhi dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.
Diskusi Eunoia x Sekolah Advokasi dimulai dengan pemaparan gambaran umum isu oleh Siti Nadhira Sulaiman. Moderator menjelaskan bahwa isu Papua merupakan permasalahan penting yang semakin hangat dibicarakan di Indonesia. Salah satu isu yang kini hangat dibicarakan adalah labelisasi teroris terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Isu tersebut banyak diberitakan oleh media-media nasional bahkan internasional karena berhubungan dengan eskalasi konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Meningkatnya intensitas konflik bersenjata membuat Pemerintah Indonesia mengambil tindakan dengan mengeluarkan kebijakan pelabelan teroris pada kelompok ini. Labelisasi tersebut menuai banyak tanggapan dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun menolak. Pada kesempatan kali ini, KAPSTRA dan DEMA mengundang narasumber-narasumber yang akan membahas mengenai problematika labelisasi terorisme terhadap KKB di Papua dengan dikerangkai perspektif humanisme dan multikulturalisme.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber pertama, yaitu Veronica Koman. Beliau menjelaskan bahwa labelisasi teroris terhadap KKB merupakan hasil rangkaian pendekatan pemerintah kepada masyarakat Papua. Menurutnya pendekatan tersebut mencerminkan tidak adanya itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua. Pelabelan teroris terhadap KKB di Papua oleh Menkopolhukam berbarengan dengan adanya pengumuman pengiriman pasukan yang terdiri atas 400 anggota TNI ke Papua. Pada saat yang sama, internet di Papua dimatikan atau mati dengan alasan bahwa ada kabel optik yang rusak. Namun, yang mengherankan adalah mengapa tiga insiden di atas (pelabelan terorisme, pengiriman pasukan, dan internet mati) beriringan waktunya. Tentunya hal itu menimbulkan prasangka dan menunjukkan adanya kejanggalan pada langkah yang diambil pemerintah.
Pelabelan teroris telah mengakibatkan berbagai dampak negatif, khususnya pada masyarakat sipil Papua. Tidak dapat dipungkiri hal ini membuat masyarakat Papua sakit hati dan merasa ikut dicap sebagai teroris. Tindakan yang diambil pemerintah cenderung represif, tetapi tujuan yang digaungkan adalah perdamaian. Semakin tercermin upaya pendekatan Pemerintah Pusat ke masyarakat Papua yang tidak jelas maksudnya. Sejak diumumkannya pelabelan teroris terhadap KKB di Papua, lebih dari 3000 penduduk di Kabupaten Puncak harus mengungsi dari tempat tinggal mereka karena adanya peningkatan konflik bersenjata. Tidak hanya tempat tinggal yang ‘direnggut’, tetapi akses informasi melalui telepon dan jejaring internet juga dibatasi. Padahal masyarakat Papua sendiri mengakui KKB sebagai kelompok pembebasan nasional dan secara hukum internasional tidak dapat dikatakan sebagai teroris. Pendekatan diplomatis yang lebih humanis dan damai dengan merangkul masyarakat Papua merupakan pendekatan yang tepat untuk menghindari diskriminasi dan mencegah konflik berkepanjangan.
Mahasiswa diharapkan dapat membantu menciptakan kondisi masyarakat yang lebih kondusif dengan lebih banyak melakukan diskusi-diskusi untuk menggali dan mengkaji permasalahan yang ada. Mahasiswa dapat secara aktif berdiskusi dan mencari informasi alternatif selain yang dipublikasikan oleh media, lalu membuat campaign dan bersuara di media sosial.
Pada sesi berikutnya, perwakilan dari Aliansi Mahasiwa Papua, Yance Yobee, memaparkan bagaimana sejarah terbentuknya kelompok-kelompok di Papua dan dampak labelisasi terorisme terhadap masyarakat Papua itu sendiri. Labelisasi terorisme yang diberikan memicu kemarahan besar masyarakat Papua, baik itu yang saat ini sedang berada di dalam maupun di luar Papua. Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang masyarakat Papua di mana pemberian labelisasi tersebut bukanlah yang pertama. Meletusnya peristiwa Trikora pada era Presiden Soekarno membuat masyarakat Papua marah karena secara tidak langsung operasi tersebut melabelkan masyarakat Papua sebagai negara boneka Belanda.
Transparansi demokrasi dan akses informasi terhadap masyarakat di Papua masih sulit dan tertutup. Pemerintah harus memberikan jaminan demokrasi di tanah Papua dan menghindari pendekatan militerisme secara terus menerus. Ruang demokrasi di Papua sendiri masih bisa dibilang rentan terhadap konflik. Sering kali terjadi pemutusan jaringan apabila terdapat penangkapan salah satu aktivis. Hal inilah yang membuat masyarakat di luar Papua tidak mengetahui bagaimana keadaan di Papua.
Pasca labelisasi terorisme oleh Pemerintah Indonesia terhadap KKB di Papua, setiap pimpinan kota selalu dipantau dan diawasi secara terus-menerus. Hal tersebut menyebabkan terbangunnya suatu konstruksi yang mengancam keselamatan masyarakat Papua yang berada di luar Papua. Dampak pelabelan terhadap masyarakat juga dapat dilihat dari laporan tertulis situasi di Papua yang masih dalam kerangka yang tidak objektif. Permasalahan di Papua tidak pernah selesai jika tidak ada ruang demokrasi. Pendekatan yang dilakukan seharusnya tidak hanya mengedepankan infrastruktur fisik, tetapi juga secara kultural termasuk dalam pendidikan. Pelabelan teroris terhadap KKB di Papua tidak akan menyelesaikan masalah di Papua.
Masyarakat di seluruh dunia harus bersatu dan memahami bahwa penindasan masih terjadi. Kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme masih menjadi momok besar yang harus dihadapi kelompok yang tertindas. Hal inilah yang terjadi di Papua dan negara-negara lain di dunia. Eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua jangan sampai menjadi penyulut perlawanan. Untuk menyelesaikan permasalahan di Papua, diperlukan ruang demokrasi yang dibuka selebar-lebarnya agar memudahkan akses jurnalis dan penyampaian aspirasi masyarakat. Selain itu, pemenuhan dan pengembalian hak-hak masyarakat Papua yang dirampas perlu dilakukan sesegera mungkin.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Andreas Harsono dari Human Rights Watch. Beliau membahas tentang bagaimana seharusnya melihat tuduhan terorisme terhadap orang-orang Papua. Adanya pelabelan teroris kepada kelompok masyarakat Papua merupakan suatu pendekatan pemerintah yang cenderung diskriminatif. Hal ini juga merupakan dampak dari terlalu luasnya definisi tentang terorisme yang ada. Sejauh ini belum ada upaya mempersempit definisi teroris, diharapkan undang-undang tentang terorisme ini segera dipersempit definisinya.
Dalam pemaparannya, Andreas Harsono mengutip kajian yang dirilis oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengenai beberapa masalah yang dihadapi oleh masyarakat Papua, yaitu:
- Marginalisasi dan diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua. Hal ini perlu dihentikan dan dilakukan pembangunan yang berorientasi pada orang asli Papua, termasuk hutan Papua, karena selama kurun waktu 50 tahun ini mereka tersingkirkan.
- Hak dasar masyarakat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik belum terpenuhi. Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi hak tersebut sesegera mungkin.
- Sejarah Papua yang dianggap manipulatif pada saat Perpera pada tahun 1967. Hal ini perlu dianalisis dengan dilandasi rasa saling percaya sebagai bagian dari upaya berdamai dengan masa lalu dan melihat masa depan.
- Pelanggaran HAM dan impunitas. Hal ini perlu dicari kebenarannya dan dilakukan rekonsiliasi.
Konflik berkepanjangan di Papua juga merupakan dampak dari terbatasnya akses jurnalis untuk memperoleh dan menyebarkannya informasi kepada khalayak umum. Hal ini menjadi permasalahan yang penting untuk ditangani karena ruang demokrasi bagi masyarakat Papua dapat terbuka salah satunya diawali dengan pemberian akses terhadap jurnalis. Dukungan untuk pemberian ruang demokrasi juga dapat dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih banyak mengadakan diskusi-diskusi untuk mengkaji permasalahan yang sedang dihadapi seperti halnya masalah di Papua.
Salah satu pendekatan dengan mekanisme internasional yang dapat dilakukan adalah memperlakukan Provinsi Papua setara dengan provinsi yang lain dalam hal akses kepada wartawan asing. Kemudian dengan cara membebaskan tahanan politik Papua dan membuka ruang-ruang demokrasi. Ketika ruang demokrasi terbuka, informasi terkait situasi dan kondisi di Papua akan tersebar dan mudah diperoleh. Akan tetapi jika ruang demokrasi tidak diberikan, konflik dan perlawanan akan terus terjadi.
KKB di Papua dan TNI sama-sama bertindak atas dasar kepentingan ekonomi, militer, dan politik. Adanya akumulasi modal dan eksploitasi besar-besaran serta pembukaan perusahaan beriringan dengan terjadinya perlawanan sehingga menyebabkan konflik di Papua. Hal itu sah dilakukan selama tidak menembak masyarakat sipil biasa tanpa alasan yang logis. Diharapkan kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut labelisasi terorisme bagi kelompok masyarakat Papua sebagai bentuk itikad baik pemerintah untuk mengurangi diskriminasi kepada kelompok masyarakat tertentu.
Pada sesi akhir, moderator menyampaikan kesimpulan betapa pentingnya pendekatan dialogis yang lebih humanis dan mengedepankan perlindungan HAM dalam menyikapi isu di Papua. Definisi teroris yang masih luas dan tidak jelas dikhawatirkan dapat mengakibatkan kesalahan dalam memahami terorisme itu sendiri. Diharapkan terdapat perbaikan secara resmi sehingga definisi teroris dapat dipersempit. Selain itu, dibutuhkan keterbukaan informasi dan ruang demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang suku dan golongan serta perlindungan terhadap jurnalis ketika akan meliput pemberitaan di Papua. Pihak akademisi harus berperan dalam menciptakan ruang diskusi yang aman sehingga dapat membangun kesadaran kritis bersama mengenai isu-isu sensitif atau yang dianggap tabu di masyarakat multikultural seperti Indonesia.