Foto: Pixabay.com

Jadi Guru Besar Berbiaya Minimalis

Oleh Tauchid Komara Yuda
(Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM)

Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kompas, 20 Maret 2022

Aturan publikasi internasional sebagai salah satu syarat menjadi guru besar masih terus menyita perhatian publik. Tulisan Ali Khomsan di harian Kompas (7/3/2022), ”Profesor, Publikasi, dan Biaya Ekonomi”, menyoroti biaya fantastis yang harus dikeluarkan seorang dosen untuk memublikasikan satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi atau JIB yang menurut dia dapat mencapai kisaran Rp 20 juta-Rp 40 juta.

Mendasarkan pengalaman pribadi menerbitkan sejumlah artikel di JIB, penulis memiliki pendapat berbeda. Pada dasarnya, kita dapat tetap memublikasikan karya ilmiah di JIB Q1 tanpa biaya sepeser pun. Ini berlaku bahkan pada jurnal-jurnal di bawah naungan penerbit kelas dunia yang mapan sekalipun, contohnya Cambridge University Press, Emerald, Elsevier, Oxford University Press, Sage, Taylor & Francis, Wiley, dan banyak lagi.

Desas-desus tingginya biaya publikasi di JIB bukan lagi hal baru. Sayangnya, desas-desus ini telanjur diyakini kebenarannya oleh banyak akademisi tanpa banyak yang memvalidasinya. Efeknya serius, banyak akademisi yang akhirnya kurang percaya diri ketika mengetahui bahwa biaya publikasi yang harus dikeluarkan bisa belasan kali lipat dari gaji pokok.

Joki yang mengetahui celah ini, tentu saja, akan memanfaatkan efek psikologis para akademisi sedemikian rupa sebagai peluang untuk meraup puluhan juta dengan iming-iming ”pasti terbit” dengan harga terjangkau.

Beberapa tahun lalu, ketika masih menjadi mahasiswa sarjana di UGM (dan tentu saja belum menjadi seorang dosen), penulis untuk pertama kali mencoba memvalidasi desas-desus biaya publikasi di JIB. Penulis mengeksplorasi salah satu laman jurnal kenamaan bidang kebijakan publik, Journal of Asian Public Policy, di bawah naungan Taylor & Francis.

Setelah membaca dengan cermat ketentuan tersebut dengan baik, penulis tidak menemukan informasi mengenai biaya publikasi di sana. Penulis akhirnya memberanikan diri menulis sebuah manuskrip berjudul ”Welfare Regime and the Patrimonial State in Contemporary Asia: Visiting Indonesian Cases” dan mengirimkannya ke jurnal tersebut.

Setelah melalui enam bulan proses peer review yang cukup ketat, ditambah satu kali revisi mayor, penulis akhirnya mendapati keputusan diterima tanpa syarat. Senang bukan kepalang mengetahui manuskrip pertama berhasil diterima. Kekhawatiran kemudian muncul: apakah benar ada biaya yang harus dibayar agar proses ini dapat dilanjutkan menjadi benar-benar published? Posisi penulis yang saat itu masih berstatus mahasiswa semakin memberatkan jika sampai harus merogoh kocek puluhan juta untuk sebuah publikasi.

Beberapa hari kemudian, akhirnya penulis mendapatkan e-mail dari penerbit soal copyright, dan lainnya adalah informasi ”biaya penerbitan”. Hampir saja menyerah, untung penulis membaca lebih detail ketentuan soal biaya penerbitan tersebut. Singkat cerita, penulis diberi dua opsi yang melegakan.

Opsi pertama, open access, artinya artikel kita nanti dapat diunduh gratis oleh setiap orang tanpa ada biaya yang dibebankan kepada mereka yang mengunduh. Tetapi, syaratnya penulis harus membayar sejumlah uang yang nominalnya sangat besar, Rp 40 jutaan. Persis sebagaimana yang sudah dikemukakan Khomsan.

Opsi kedua, limited access, artinya artikel yang kita terbitkan tidak bisa diakses bebas. Konsekuensinya, mereka yang ingin mengakses artikel kita harus berlangganan ke penerbit dengan biaya yang tidak murah. Jika memilih opsi ini, penulis tidak dibebankan biaya apa pun, alias gratis. Akhirnya penulis memilih opsi kedua.

Meskipun aksesnya terbatas, mereka yang bekerja atau menjadi bagian dari kampus atau instansi yang berlangganan dengan jurnal tersebut dapat mengakses artikel yang ”terkunci” secara gratis dengan akun mereka.

Kendatipun begitu, tidak dimungkiri, beberapa jurnal yang berkomitmen agar semua artikel yang dipublikasikan open access juga ada, contohnya Research & Politics, yang diterbikan Sage. Tetapi, jurnal dengan aturan seperti itu tidak banyak sehingga memungkinkan para akademisi untuk memilih lebih banyak opsi jurnal-jurnal yang tidak mengharuskan open access.

Pengalaman pribadi tersebut mendorong penulis untuk lebih banyak memublikasikan artikel di JIB sampai hari ini. Bahkan, proses publikasi penulis di dua jurnal kebijakan sosial kenamaan di bawah naungan penerbit Wiley, yaitu Social Policy & Administration (Q1) dan International Journal of Social Welfare (Q1), juga gratis.

Penting untung dicatat, meskipun gratis, tetap ada sedikit biaya yang timbul dalam proses penulisan manuskrip. Seperti akses ke jasa penerjemahan atau editing tata bahasa profesional untuk memastikan konsistensi dan akurasi naskah dalam hal ejaan, tanda baca, dan format sebelum dikirimkan ke jurnal. Kendatipun begitu, biaya untuk kedua jasa ini relatif terjangkau. Berkisar Rp 2 juta-Rp 3 juta per artikel, tergantung jumlah kata, mungkin bisa lebih, apabila memilih fitur premium, misalnya kecepatan pengerjaan.

Sayangnya, tidak semua kampus memberikan fasilitas penerjemahan atau proofreading. Ini bisa jadi alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan pemerintah bersama pengelola kampus ke depan, terutama bagi kampus-kampus yang masih merintis.

Pengorbanan sesungguhnya

Hemat penulis, pengorbanan sesungguhnya dalam proses penerbitan karya ilmiah di JIB bukan pada biaya, melainkan rangkaian proses penerbitan yang relatif panjang dan melelahkan. Kadang-kadang memerlukan waktu satu tahun atau lebih.

Tahapan pertama, setiap manuskrip akan melewati pemeriksaan awal oleh administrator. Tahap ini mencakup pemeriksaan hal-hal teknis, seperti potensi plagiarisme dan kesesuaian manuskrip dengan format yang disyaratkan oleh jurnal. Proses memerlukan waktu beberapa hari, satu minggu hingga satu bulan, tergantung jumlah manuskrip yang masuk.

Setelah dinyatakan lolos tahap pertama, manuskrip kemudian diteruskan ke editor atau dewan editor yang bertugas menilai substansi tulisan. Waktu yang dibutuhkan untuk tahapan ini mungkin saja lebih panjang dari yang pertama karena ada berbagai faktor. Misalnya kesibukan editor, atau yang lebih umum karena kehati-hatian editor dalam membaca setiap manuskrip yang masuk.

Perlu diketahui, editor atau dewan editor adalah pakar-pakar yang memiliki spesifikasi khusus pada bidang keilmuan dalam sebuah jurnal ilmiah. Mereka menjadi penanggung jawab atas konten dari setiap artikel yang berhasil dipublikasikan. Wajar apabila editor akan sangat selektif dalam menentukan kandidat karya yang akan dipublikasikan di jurnal yang berada di bawah naungannya.

Penting bagi penulis untuk memperhatikan aims dan scope pada halaman awal situs jurnal untuk memastikan manuskrip yang kita kirim ”tidak salah tempat” sehingga mengurangi potensi penolakan dari editor (immediate reject).

Dari hasil observasi pada beberapa jurnal yang berada di area keilmuan penulis, nyatanya tetap ada kasus artikel yang diterbitkan tidak selalu sepenuhnya sesuai dengan aims dan scope yang dicantumkan di laman jurnal. Ini mengindikasikan subyektivitas editor juga bisa menjadi faktor penentu bagi sebuah manuskrip untuk mendapatkan lampu hijau untuk terbit.

Keputusan diterima atau tidaknya sebuah manuskrip tidak berhenti sampai di editor. Langkah selanjutnya (jika manuskrip dinyatakan layak untuk diterbitkan), manuskrip akan diproses ke tinjauan sejawat (peer review) yang memerlukan waktu berbulan-bulan.

Dalam proses peer review, pengulas yang ahli di bidangnya (biasanya dua, tiga, atau kadang empat orang) akan meninjau artikel yang diajukan oleh penulis untuk keperluan validasi atas argumen, metodologi, data, dan hal-hal lain yang menyangkut standar karya ilmiah. Peer review sendiri dilakukan tanpa pengulas mengetahui siapa penulisnya, pun sebaliknya. Hal ini dimaksudkan agar proses review sedapat mungkin obyektif dan kualitas artikel yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, bukan berarti proses peer review ini tanpa celah. Ada kemungkinan bahwa pengulas tidak dapat mengomentari atau memahami semua isi manuskrip, dan pada akhirnya membuat kualitas review tidak maksimal. Selain itu, kemungkinan fraud juga sering kali sulit dideteksi, kecuali tingkat kemiripan tulisan yang dengan bantuan software antiplagiarisme pasti akan terlacak.

Memang, jurnal bereputasi yang dikelola di bawah penerbit-penerbit yang sudah mapan memiliki standar lebih ketat untuk meminimalkan fraud. Tetapi, namanya manusia, selalu ada cara untuk mengelabui aturan. Umpamanya artikel yang ditulis oleh para gacok atau joki jurnal, siapa editor atau pengelola jurnal yang bisa mendeteksi? Terlepas dari kelemahannya, belum ada sistem verifikasi jurnal ilmiah yang tampak mengungguli peer review. Untuk alasan kualitas inilah kemudian JIB masih digunakan sebagai salah satu standar yang paling dilihat dalam kaitannya dengan jenjang karier guru besar.

Artikel ini pada akhirnya mengonfirmasi bahwa pendapat yang mengatakan tingginya biaya publikasi di JIB tidak valid. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ada opsi penulis dapat memilih untuk memublikasikan karya ilmiahnya di JIB Q1 secara gratis.

Harapannya, artikel ini dapat memberikan motivasi bagi dosen-dosen di Tanah Air agar tidak patah semangat dalam menorehkan karya-karyanya di kancah internasional, sembari terus memperjuangkan kariernya pada tingkat yang paripurna (guru besar).

Opini ini dapat diakses melalui tautan berikut.

Leave a Comment