Yogyakarta, 14 November 2021 – Badan Pengkajian MPR RI bekerja sama dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas rancangan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bidang Sosial dan Budaya. Urgensi dari PPHN sendiri dimaksudkan untuk menjadi rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) mulai tahun 2025.
Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI, Ir. H. Tifatul Sembiring membuka agenda diskusi dengan menyampaikan bahwa beliau dan para anggota yang hadir merupakan bagian dari Kelompok IV Bidang Pengkajian MPR RI pada lingkup Sosial dan Budaya. Menurutnya, lingkup sosial dan budaya sendiri merupakan isu yang terdiri dari isu ekonomi, budaya, IPTEK, pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan sosial. Sehingga beliau berharap melalui tiga narasumber yang mewakili isu sosial budaya, pendidikan, dan kesehatan dapat memberi masukan dan bahan diskusi untuk kepentingan penyusunan PPHN nantinya.
Melanjutkan sambutan dari pihak MPR RI, Dr. Krisdyatmiko selaku Ketua Departemen PSdK UGM menyampaikan kritik terhadap Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada era orde baru yang dominan dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Krisdyatmiko juga memberi pesan bahwa perlu ada agenda aksi ke depan agar momen penting ini tidak berhenti hanya untuk diskusi saja.
Pada sesi pemaparan materi oleh narasumber ahli yang pertama, Ketua Senat Fisipol UGM, Prof. Dr. Susetiawan berbicara pada isu sosial budaya menyampaikan bahwa konteks sosial budaya tidak bisa dipisahkan. Konsep sosial dan budaya ialah sebagai sebuah ide/nilai, sebagai perilaku/tindakan manusia, hingga sebagai artefak/kebendaan/alat. Sumber ide mengenai sosial dan budaya, lanjut Susetiawan sudah tertanam salah satunya melalui Sumpah Pemuda. Namun demikian dari tiga isi pokok Sumpah Pemuda hanya satu poin saja yang benar-benar berjalan, yakni berbahasa satu Bahasa Indonesia. Sedangkan dalam poin “berbangsa satu” dan “bertanah air satu”, kita belum bisa mencapainya. “Kita mengaku kita bangsa Indonesia, namun kenyataannya rasa kesukuan kita masih tebal. Potensi disintegrasi hingga saat ini masih ada.” ujar Susetiawan.
Pada isu pendidikan, Prof. Drs. Suyanto, Ph.D. seorang Guru Besar UNY, menyampaikan bahwa sektor pendidikan di Indonesia harus dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi banyak perubahan ke depan. Menurutnya pendidikan di Indonesia harus tanggap untuk membuat perencanaan jangka panjang, atau anak-anak di Indonesia akan tergagap menghadapi perubahan. Pendidikan ke depan perlu menjadikan lulusan yang adaptif, dan belajar untuk belajar untuk ‘unlearn’ terhadap hal-hal yang sudah tidak relevan. “Rendahnya pendidikan kita karena adanya fixed-mindset. Padahal negara yang maju memiliki growth-mindset.” tutur Suyanto.
Dalam konteks kesehatan, Wakil Dekan bidang Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD. menyampaikan urgensi sektor kesehatan ke depan dalam menghadapi pandemi. Menurutnya, Resiliensi sistem kesehatan di Indonesia sangat rapuh. Ketika krisis terjadi Indonesia tidak mampu menahan ancaman yang datang. Hal ini ditambah dengan literasi kesehatan masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sehingga terpaan ancaman pandemi masih ditambah juga dengan “infodemi” yang semakin menjerumuskan masyarakat pada informasi yang tidak tepat. Hal yang perlu disoroti lainnya adalah bahwa sistem kesehatan di Indonesia sangat bergantung pada komoditas luar negeri. Sekitar 80% komoditas kesehatan di Indonesia masih impor. Sehingga ketika pandemi yang mengancam banyak negara-negara di dunia, Indonesia akan kesulitan untuk mencukupi komoditas kesehatannya sendiri.
Penulis: Saqib Fardan Ahmada