Oleh Tauchid Komara Yuda, Dosen dan Research Associate di Departemen PSdK Fisipol UGM
Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Republika, 18 Juli 2017
Ada sebuah adagium, homo homini lupus. Artinya, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Begitulah ungkapan yang dipopulerkan oleh Hobbes untuk menggambarkan situasi dimana setiap orang dalam keadaan cemas atas keselamatan dirinya, selalu berusaha mempertahankan kepentingannya, kalau perlu dengan menyerang orang lain.
Perang adalah ekspresi sekaligus hasrat yang tidak lain bertujuan untuk mendominasi dan bertahan di waktu yang bersamaan. Butuh waktu panjang, hingga akhirnya kita dapat menghirup udara demokrasi tanpa ketakutan dan kecemasan. Namun pertanyaannya, berapa lamakah status quo ini bertahan?
Naluri manusia sebagai ‘hewan berakal’ tidak begitu saja dapat dijinakkan dengan menggunakan instrumen demokrasi. Manusia akan mencari cara untuk tetap meluapkan hasrat serigalanya dalam bentuk lain, yang artinya korbannya pun tidak mesti harus nyawa.
Seperti awal mula kasus Charlie Hebdo di Prancis dua tahun lalu barangkali menjadi salah satu contoh nyata, bagaimana demokrasi juga bisa dipolitisasi dengan dalih kebebasan. Alih-alih berdemokrasi, apa-apa menjadi boleh. Padahal demokrasi tanpa aturan, tanpa hukum, tentu akan pincang. Apa bedanya dengan hidup tanpa negara?
Pada titik inilah negara hadir untuk memberikan warna dari demokrasi itu sendiri. Seperti agama, demokrasi ibarat elemen netral yang sewaktu-waktu dapat bersifat dogmatis, bahkan agitatif, dan pada waktu yang lain dapat berubah menjadi elemen yang korporatif bahkan membebaskan. Demokrasi bukanlah sebuah konsep yang saklek, tergantung bagaimana tawar-menawar penggunaan gagasan demokrasi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya berlangsung sebagai instrumen kenegaraan.
Di Indonesia tentu demokrasi yang berlangsung adalah demokrasi Pancasila, yang kemudian menjadi pembeda antara demokrasi ala Indonesia dengan negara-negara lainnya. Maka logis apabila aturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan etika berdemokrasi, sesuai dengan nilai Pancasila, sudah semestinya ada sebagai rules and regulation dalam sebuah negara yang plural.
Apalagi di era digital, dimana arus produksi dan reproduksi informasi lebih deras, ketimbang kemampuan masyarakat merespons dan memilah informasi. Kondisi ini dibarengi dengan semakin terindividualisasinya masyarakat, sehingga menjadikannya dirinya menggantungkan kebutuhan akan informasi kepada perangkat digital.
Parahnya lagi, ketergantungan masyarakat terhadap internet ternyata tidak diimbangi dengan kemampaun menangkap frekuensi kebebasan yang dibawa demokrasi sebagai medium rekonsilisasi atau persatuan umat. Kondisi semacam inilah yang pada akhirnya memunculkan artikulasi politik yang ekstrem, sehingga proliferasi perbedaan semakin tajam.
Berkaca pada isu terbaru mengenai pemblokiran telegram, yang teridetifikasi kerap digunakan teroris untuk berkomunikasi dan menyebar paham radikal yang menyasar kepada kelompok masyarakat digital yang tidak mampu bermedia dengan baik. Bahkan yang mengejutkan, pada Oktober 2015, jumlah follower channel Telegram yang dioperasikan oleh ISIS tercatat naik dua kali lipat menjadi 9.000 pengguna.
Saya pribadi mendukung langkah tersebut, jika memang justifikasi yang digunakan tidak lain untuk membendung meluasnya paham radikal ke masyarakat. Hal itu sekaligus menjadi refleksi berikut tantangan bagi kita sebagai netizen, untuk bersama-sama menghadirkan informasi yang cerdas, bermanfaat, dan berorientasi pada kebaikan di akun-akun media sosial yang kita miliki.
Akhir kata, kita tidak perlu takut mengenai isu pemblokiran telegram sebagai upaya kebiri atas demokrasi. Yang perlu kita takutkan adalah kalau pemerintah terjangkit alergi kritik.
Artikel asli dapat diakses melalui tautan berikut.