Oleh: KAPSTRA FISIPOL
Judul : Laut Bercerita
Tahun : 2017
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Quote : “Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah suatu kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tidak bisa dipertahankan lagi”
Sinopsis:
Bagaimana bisa sebuah rezim otoriter dapat terus bertahan selama lebih dari 30 tahun di Indonesia? Nyatanya, pada zaman Orde Baru di bawah langgengnya kediktatoran rezim Soeharto tersimpan sejarah kelam bangsa Indonesia dengan segala tindakan tidak manusiawi pemerintah yang terkubur bersama hilangnya para aktivis pembela rakyat secara misterius. Hilangnya 13 aktivis masa Orde Baru dalam cerita ini hanyalah sepenggal cerita kelam Orde Baru yang terungkap. Inilah kisah mengenai perjuangan, kehilangan, kekejaman, cinta, dan harapan dari mereka yang dihilangkan.
Babak pertama novel terjadi pada rentang waktu tahun 1991 hingga 1998 melalui perspektif Biru Laut Wibisana, seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada yang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Laut memiliki ketertarikan dengan karya sastra ‘terlarang’ pada masa itu hingga dirinya nekat mencetak ulang novel karya Pramoedya Ananta Toer. Berkat ketertarikannya tersebut, Laut mengenal Kasih Kinanti, salah satu aktivis yang mengenalkan Laut kepada organisasi Winatra dan Wirasena. Organisasi tersebut pada akhirnya menjadi tempat bagi Laut dan kawan-kawannya untuk berdiskusi mengenai berbagai macam hal khususnya hal-hal yang dilarang pemerintah Orde Baru. Mereka berupaya melakukan berbagai macam aksi dengan orientasi mengubah tata pemerintahan Indonesia agar menjadi negara demokrasi yang tidak antikritik; bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); dan dapat menyejahterakan seluruh rakyat. Sungguh janggal dirasa bahwa pihak aparat negara seolah selalu mengetahui rencana aksi yang telah disusun dengan matang oleh Winatra sehingga aksi tersebut dapat digagalkan dengan mudah oleh aparat negara.
Puncaknya terjadi pada bulan Maret 1998. Setelah bersembunyi dan berada dalam pelarian, akhirnya tibalah giliran aktivis Wirasena untuk ditangkap oleh aparat negara. Mereka disekap di ruang bawah tanah, diinterogasi, dan disiksa secara brutal tanpa mengetahui bagaimana nasib esok hari. Beberapa aktivis dilepaskan, tetapi beberapa orang lainnya hilang tanpa jejak hingga detik ini termasuk Laut. Mereka yang dilepaskan memang dapat menghirup udara bebas kembali, tetapi waktu tidak akan pernah menyembuhkan luka yang mereka tanggung.
Babak kedua berlanjut dengan latar belakang tahun 2000 hingga 2007 yang disajikan melalui perspektif Asmara Jati, adik Laut, seorang mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. Sudah dua tahun sejak Laut menghilang, tetapi tidak ada sedikitpun kejelasan yang diterima keluarga mengenai hilangnya sosok Laut. Bagian ini tidak lagi diisi dengan narasi Laut mengenai penyiksaan, teror, dan kepedihan yang diterimanya. Akan tetapi, bagian ini dipenuhi rasa kesedihan, kehilangan, keputusasaan, dan ketidakpastian mereka yang ditinggalkan. Keluarga Laut, teman-teman Laut, dan keluarga aktivis lainnya hanya memiliki bahu satu sama lain untuk bersandar sebab ketidakjelasan nasib Laut dan aktivis lainnya yang hilang. Begitu banyak halangan yang mereka lalui demi menuntut keadilan, tetapi mereka tidak pernah berhenti untuk terus berharap. Mereka tetap melanjutkan perjuangan untuk menyingkap kebenaran dan menuntut keadilan kepada pemerintah atas nasib orang yang mereka cintai.
Ulasan:
Novel dengan genre historical fiction ini disajikan dengan bahasa yang indah, tetapi di saat bersamaan juga menyayat hati para pembaca. Dengan membaca novel Laut Bercerita, akan membuka pikiran dan hati pembaca mengenai betapa kejamnya rezim Soeharto pada masa itu. Meskipun kisah di dalamnya merupakan kisah fiksi, tetapi hal tersebut tidak mengurangi pengalaman pembaca yang tidak hidup pada masa Orde Baru untuk ikut merasakan kengerian dan teror yang dirasakan para mahasiswa dan aktivis. Sebab, novel ini diangkat dari kisah nyata. Narasi mengenai bagaimana mereka sebagai buronan pemerintah yang diculik, diinterogasi, dan disiksa hingga hilang tanpa jejak disajikan dengan sangat detail sehingga kita sebagai pembaca bisa turut merasakan luka dan trauma yang mereka dapatkan. Tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita terasa begitu nyata. Tekad dan perjuangan mereka demi perubahan Indonesia, persahabatan yang erat, serta rasa sakit yang mereka tanggung semuanya dapat kita rasakan seolah mereka adalah bagian dari hidup kita. Novel ini dapat menjadi penggerak bagi kita untuk terus memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah fakta bahwa masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM dan kasus ketidakadilan di Indonesia.
Pengulas: Azizah Diva Agustin (Mahasiswi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, 2021)