Sekolah Advokasi #1: Membangun Kesadaran Kritis Terkait Pelecehan Seksual

Yogyakarta, 24 April 2021– Kementerian Advokasi dari Keluarga Mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) telah menyelenggarakan kegiatan dengan nama Sekolah Advokasi #1, pada Sabtu (24/04). Diskusi ini dilaksanakan secara daring melalui platformZoom dengan tema “Membangun Kesadaran Kritis Terkait Pelecehan Seksual”. Pada kegiatan Sekolah Advokasi #1 ini, Kementerian Advokasi menghadirkan Milda Longgeita Br Pinem, dosen PSdK UGM dan Suharti, Former Director of Rifka Annisa Women’s Crisis Centersebagai narasumber, serta Dita Syavira Balqis sebagai moderator.

Webinar Sekolah Advokasi #1 dihadiri oleh berbagai kalangan baik dari akademisi, mahasiswa, aktivis hingga masyarakat umum. Diskusi ini dimulai dengan sambutan dari Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si selaku ketua prodi sarjana PSdK Fisipol UGM. Beliau menjelaskan bahwa pelecehan seksual merupakan permasalahan yang selalu hangat untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kesadaran kritis masyarakat terhadap pelecehan seksual. Dalam kehidupan sehari-hari, pelecehan seksual seringkali terjadi bahkan tanpa disadari. Mulai dari aktivitas seksual tanpa konsensus hingga cat callingmasih banyak terjadi dan dianggap wajar oleh masyarakat yang termasuk dalam pelecehan seksual yang merendahkan harkat martabat seseorang.

          Data pelecehan seksual juga tidak bisa dipaparkan secara akurat karena beberapa korban enggan melaporkan pelecehan yang dialami karena dianggap tabu di masyarakat. Normalisasi pelecehan seksual tidak dapat dibiarkan selamanya, diperlukan upaya membangun kesadaran kritis terhadap hal tersebut. Harapannya, diskusi kali ini yang juga dalam rangka memperingati Hari Kartini dapat memberikan insightbagi peserta akan pentingnya kesadaran kritis terkait pelecehan seksual agar dapat terhindar sebagai korban maupun pelaku yang kadang tidak disadari secara langsung.

Kemudian, diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber pertama, yaitu Milda Longgeita Br Pinem. Beliau memaparkan bahwa kekerasan seksual selalu menjadi topik yang cukup menarik dari masa ke masa. Tindakan kekerasan seksual memiliki beberapa istilah sesuai dengan kondisi-kondisi yang terjadi. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah        :

  • Sexual Abuse

Sexual Abuse dapat diartikan sebagai tindakan pelecehan dan kekerasan yang dilakukan terhadap anak-anak atau orang-orang di bawah umur.

  • Sexual Assault

Sexual Assault merupakan tindakan seksual yang bersifat memaksa dan menyerang, seperti ciuman, rabaan, belaian dan seterusnya yang dilakukan tanpa persetujuan korban.

  • Rape

Rape atau pemerkosaan adalah tindakan pemaksaan penetrasi secara seksual tanpa persetujuan dari korban.

  • Sexual Harassment

Sexual harassment atau yang biasa kita kenal pelecehan seksual merupakan suatu tindakan seksual yang dilakukan oleh seseorang baik verbal maupun non verbal tanpa persetujuan korban. Misalnya cat calling, komentar berbau seksual, sentuhan tanpa consent, dan seterusnya.

Praktek-praktek dari kekerasan dan pelecehan seksual sudah terjadi dari masa ke masa, bahkan sejarah mencatat bahwa di era Romawi hingga era kontemporer saat ini, bentuk dari kekerasan dan pelecehan seksual terus berkembang. Mulai dari tindakan secara terang-terangan melakukan pemerkosaan massal hingga secara implisit berupa konten-konten hiburan yang menjadikan manusia sebagai objek seksual. Tindakan-tindakan kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi tentu membawa dampak yang sangat besar baik bagi individu maupun konstruksi sosial di masyarakat. 

Bagi individu, dampak-dampak yang mungkin terjadi misalnya adalah gangguan secara mental dan psikis, adanya permasalahan dengan alat reproduksi dan bagian tubuh lainnya, kecenderungan untuk bunuh diri, munculnya penyakit seksual seperti AIDS, meningkatnya kemungkinan terjadinya praktik aborsi dan seterusnya. 

Selain itu, dampak yang dibawa terhadap masyarakat misalnya adalah munculnya pola pikir yang menempatkan perempuan menjadi sosok yang dibenci dan dicurigai (misogini), terbentuknya sistem sosial yang memberikan keistimewaan, superioritas, hak dan kontrol kepada laki-laki (patriarki), melihat dan menggambarkan perempuan dari perspektif laki-laki dan seterusnya. 

Dengan kondisi yang ada, sudah terlalu banyak korban dan kerugian yang dialami, tidak hanya bagi perempuan melainkan bagi seluruh golongan masyarakat. Maka dari itu, kita perlu mulai mengambil langkah awal dalam membenahi konstruksi sosial yang ada. Kita bisa memulainya dengan membangun kesadaran kritis dan pemahaman terkait pelecehan seksual, sehingga akhirnya kita bisa berdiri dan bersuara bagi korban-korban yang membutuhkan pertolongan.

Pada sesi berikutnya, Suharti menjelaskan jika tindakan pelecehan seksual merupakan isu tentang pelanggaran hak asasi manusia, yang membutuhkan perhatian yang serius. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, tak jarang tindak kekerasan seksual masih sering diabaikan dan dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Padahal, temuan di lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu bentuk kekerasan seksual yang mengalami peningkatan aduan terutama di masa pandemi saat ini adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Faktor yang mendasari hal tersebut antara lain peningkatan intensitas penggunaan platform digital di masa pandemi, belum adanya contoh yang menunjukkan bahwa pelaku KBGO berhak mendapatkan hukuman yang setimpal, masyarakat mulai memiliki kesadaran untuk meaporkan tindakan KBGO, dan informasi aduan KBGO yang semakin meluas sehingga mudah untuk diakses.

Jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, kasus kekerasan seksual akan membawa banyak dampak bagi korbannya. Dampak yang ditimbulkan tersebut antara lain dampak fisik, dampak mental, dampak reproduksi, dan perilaku kesehatan yang negatif. Selain itu, dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan seksual juga dapat digolongkan berdasarkan jangka waktunya, yakni dampak jangka pendek (immediate impact) dan dampak jangka panjang (long term impact).

Di akhir penjelasan juga dipaparkan mengenai hal-hal korban pelecehan dan kekerasan seksual seperti mendapatkan pemulihan kesehatan dan spikologis, mendapatkan tempat yang aman, pendampingan hukum, dan pendampingan rohani serta reintegrasi sosial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi korban kekerasan dan pelecehan seksual adalah melalui adanya UU PKS.

Oleh: Kapstra Fisipol UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori