Social Development Talk: Pengasuhan Anak di Indonesia

Yogyakarta, 12 Mei 2023Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM mengadakan diskusi Social Development Talks (SODET) dengan tajuk “Pengasuhan Anak di Indonesia” pada Jumat (12/05). Tujuan diskusi ini untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada khalayak publik terkait pengasuhan anak di Indonesia beserta pergeseran dan permasalahan pengasuhan anak di panti asuhan.

Acara ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom SODET yang menghadirkan  Tata Sudrajat dari Save the Children yang juga merupakan mahasiswa program doktor di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM yang kemudian dimoderatori oleh Pinurba Parama P selaku Dosen PSdK.

Diskusi dibuka oleh pemaparan materi dari Tata Sudrajat mengenai disfungsi keluarga sebagai pengantar dari pembahasan pengasuhan anak. Disfungsi keluarga didefinisikan ketika peran-peran anggota keluarga seperti ibu, ayah dan anak tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Peran yang tidak berfungsi diartikan dengan ketika ayah/ibu meninggal dunia, sakit fisik, dipenjara, migrasi dan lainnya. Hal tersebut mengakibatkan adanya penelantaran anak, single parent bahkan kondisi rumah yang tidak layak tinggal untuk anak. Hal ini tentu kontradiktif jika disandingkan dengan definisi pengasuhan anak. Menurut Pasal 1 PP 44/2017, pengasuhan anak diartikan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan afeksi, kelekatan, keselamatan dan kesejahteraan yang berkelanjutan untuk kepentingan anak. Tentu, jika terjadi disfungsi keluarga, maka pengasuhan anak juga tidak dapat terwujud. 

Sementara itu, kondisi pengasuhan anak di Indonesia juga mengalami pergeseran. Sebelumnya, tradisi pengasuhan anak Indonesia adalah pengasuhan berbasis keluarga. Seperti halnya di Jawa dengan istilah mupon, Sunda dengan ngukut, Maluku dengan mata rumah dan Minang dengan pengasuhan ninik mamak. Hal ini juga didukung dengan data BPS Survei Modul Kependudukan (2010) tercatat lebih dari 2,15 juta anak usia 15 tahun ke bawah tidak hidup bersama orang tuanya. Melainkan 88% diasuh keluarga besar, 59% diasuh nenek/kakek, dan 29% diasuh keluarga lain.

Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah anak terlantar dan diasuh oleh panti asuhan juga bertambah. Sebanyak 500.000 anak di Indonesia tinggal di 8.000 panti asuhan. Angka tersebut merupakan angka tertinggi di dunia. Namun, pengasuhan anak yang dialihkan ke panti asuhan mayoritas adalah ketidakmampuan ekonomi orang tua untuk membiayai kehidupan anak. Tentu, hal ini menjadi titik balik untuk mengkaji ulang terkait fungsi dan orientasi panti asuhan. Berdasarkan pada konvensi hak asasi anak, anak wajib mendapatkan kesejahteraan seperti tidak mendapat diskriminasi kepentingan, terjaga kelangsungan hidupnya, dan pandangan anak turut selalu dihargai. Selain itu, anak juga wajib mendapatkan perlindungan dan jaminan dari negara bahwa orang tua akan turut serta memikul tanggung jawab bersama dalam mengurus pertumbuhan dan perkembangan anak.

Selanjutnya, Ia menjelaskan mengenai teori childhood. Teori ini menjelaskan bahwa anak di masa kanak-kanaknya membutuhkan pembinaan dan pengasuhan. Dalam praktiknya, pengasuhan anak di panti asuhan tidak serta merta memberikan pengasuhan dalam konteks memberikan afeksi dan well-being yang cukup. Meskipun, anak masih bisa mendapatkan pendidikan formal wajib belajar 12 tahun. 

Kemudian, Tata Sudrajat juga menjelaskan materi mengenai pola-pola kelekatan anak yang menjadi dampak dari pola pengasuhan itu sendiri. Pola kelekatan dibagi menjadi empat jenis, (1) secure, anak percaya diri/yakin bahwa pengasuh akan merespon kebutuhan; (2) insecure – avoidant, anak percaya bahwa pengasuh akan merespons dengan penolakan. Hal ini akan berakibat anak menjadi sulit berempati dan meminimalisasi relasi dengan orang lain; (3) insecure – ambivalent/resistant, anak tidak yakin jika pengasuh akan merespons kebutuhan; (4) insecure – disorganized/disoriented, anak merasa bahwa pengasuh akan merespons kebutuhan dengan kekerasan. 

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori