Yogyakarta, 24 Oktober 2023 – Isu pembangunan sosial, sering kali terabaikan dalam domain kebijakan, padahal dalam realitasnya, memiliki dampak yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan negara. Menyikapi hal tersebut, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM mengundang Dr. Yanuar Nugroho selaku Tim Ahli Sekretariat Nasional TPB/SDGs untuk berdiskusi mengenai topik “Perspektif Teoritis dan Benturan dengan Praktik Kebijakan dan Pembangunan Menuju Kesejahteraan“. Diskusi ini merupakan langkah untuk memperdalam topik pembangunan sosial sekaligus meningkatkan perhatiannya dikalangan pengambil keputusan. “Diharapkan, penggalian-penggalian terhadap persoalan pembangunan sosial semakin dalam dan didengar oleh pengambil keputusan” ujar Janianton Damanik selaku Dosen PSdK. Untuk memperkaya diskusi, hadir berbagai pihak terkait seperti dosen, praktisi, hingga mahasiswa sebagai peserta.
Awal diskusi, Yanuar memperlihatkan bagaimana kondisi Indonesia lebih dari 30 tahun terjebak dalam middle-income trap. Apabila dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura, Hongkong, Jepang, maupun Korea Selatan yang hanya memerlukan waktu kurang dari 20 tahun untuk menjadi negara maju. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, setidaknya pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 7% setiap tahunnya dan berupaya mereduksi segala hambatan.
Permasalahan Fundamental Indonesia
Yanuar menyampaikan beberapa kondisi yang menyebabkan Indonesia terjebak dalam kondisi tersebut:
- Tidak optimalnya tata kelola hukum dan regulasi.
- Rendahnya kapasitas negara (state capacity) dan institusi publik.
- Masifnya perubahan demografi dan dinamika preferensi sosial-budaya.
- Rendahnya kapasitas sumber daya manusia.
- Pemanfaatan sumber daya alam, maritim, dan lingkungan yang tidak berkelanjutan.
- Struktur ekonomi dan tata kelola perdagangan tidak efektif.
- Rendahnya kapasitas fiskal.
- Rendahnya optimalisasi riset, ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
- Infrastruktur wilayah dan konektivitas belum merata.
- Transformasi digital tidak terkelola optimal.
Masalah utama yang perlu direduksi agar upaya pembangunan sosial dapat optimal setidaknya pada tiga hal: hulu, jembatan, dan hilir.
- Pada tataran hulu yang berbicara mengenai aspek kualitas SDM, sehingga perlu adanya perbaikan masalah kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, perlindungan UMKM, reformasi hukum dan birokrasi.
- Jembatan adalah bagaimana alokasi sumber daya dan tata kelola negara berperan agar apa yang telah disiapkan dapat mencapai tujuan.
- Hilir berarti implementasi dan dampak yang diharapkan, seperti industrialisasi, produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya.
Program perlindungan sosial menjadi instrumen kunci dalam penyelenggarakan kesejahteraan sosial. Tujuan utamanya adalah mereduksi angka kemiskinan, sehingga masyarakat mampu berdaya dan memaksimalkan potensi yang dimiliki melalui berbagai fasilitas yang disediakan oleh negara. Oleh karenanya, pendistribusian yang tepat sasaran menjadi kunci keberhasilan program.
Baca juga: Ageing Society: Tantangan dan Respon di Aras Lokal
Negara pada kondisi ini menempati posisi sentral dalam pembangunan. “Negara idealnya hadir untuk warga negara sejak dalam kandungan hingga akhir hayat” ujar Yanuar. Sektor yang menjadi prioritas meliputi kesehatan, pembangunan manusia, dan pendidikan. Meskipun alokasi dana yang diberikan terus bertambah, namun dalam implementasinya menemui sejumlah tantangan, Pertama absennya koordinasi antar pihak dan pendekatan “silo” yakni egosentris yang terjadi antar lembaga pemerintahan. Kedua, kurangnya disiplin dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan korupsi kian menjamur. Ketiga, tawar menawar politis karena ketiadaan data (sarat akan kepentingan kelompok).
Rekomendasi Tranformasi Kebijakan Sosial
Lantas, bagaimana caranya menyelesaikan permasalahan tersebut? “Ada tiga solusi yang dapat ditempuh, yakni agile organization, state capacity, dan behavioural policy” kata Yanuar. Agile organization mendorong adanya perbaikan pola koordinasi dan memecah pengkotak-kotakan, memastikan pelaksanaan sesuai dengan rencana, serta mendorong penggunaan data kredibel dan akurat. Kemudian, state capacity agar pemerintah memiliki kemampuan untuk membuat regulasi, menata institusi, kelembagaan, hingga memobilisasi sumber daya. Terakhir, behavioural policy yakni pendekatan perilaku dalam perumusan kebijakan, sehingga dapat mendorong partisipasi publik secara aman.
Penulis: Roichan Rochmadi Irwanto