Tragedi Jurnal Ilmiah

Oleh Prof. Dr. Janianton Damanik, Dosen dan Guru Besar Departemen PSdK Fisipol UGM; Peneliti Senior di Pusat Studi Pariwisata UGM

Tragis benar, kalau boleh disebut begitu nasib jurnal Humanities & Social Sciences Reviews (HSSR). Namanya dicoret dari daftar Scopus, salah satu lembaga pengindeks jurnal ilmiah yang diklaim bereputasi tinggi. Akibatnya, posisinya yang bertengger di peringkat Q1 (kuartil tertinggi versi Scopus) sejak tahun 2019 tersapu lenyap dari peredaran. Artinya, semua artikel terbit tahun 2020 dan seterusnya otomatis tidak diakui oleh lembaga yang berkantor di Amsterdam, Belanda, itu.

Tentu yang paling apes adalah para penulis. Bisa dibayangkan kegembiraan mereka berubah menjadi deraan kecewa berat. Sebab, artikel yang terbit di jurnal terindeks Q1 pastilah menjadi kebanggaan tersendiri. Bagi sebagian dosen bertitel doktor, capaian itu jadi salah satu tiket masuk ke jabatan guru besar.

Tapi mau dikata apa? Hasil kerja keras dan sederet soal merancang riset dan menuliskan hasilnya dalam artikel ilmiah cuma sia-sia. Belum lagi biaya terjemahan dan publication fee yang bisa mencapai puluhan juta.

Tidak disebut alasan Scopus mencoret nama jurnal terbitan Mumbai, India, itu dari daftar terindeks. Seperti termuat di situs GIAP Journal (https://giapjournals.com/hssr/announcement), beberapa penulis artikel sudah mengontak tim Scopus untuk mendapat penjelasan yang pasti, tapi jawabnya hanya dua kata: tidak memuaskan. CEO GIAP pun memohon agar HSSR jangan sampai divonis tidak terindeks, tapi cukup diberi status tak terdaftar. Tampaknya permintaan itu tidak digubris Scopus.

Menanggapi pencoretan itu, pengelola jurnal meminta maaf kepada para penulis. Konon mereka sudah bekerja profesional dan berlaku etis, tapi nasib berbicara lain. Sayang, tidak disebut bagaimana cara kerja profesional itu dalam pengelolaan naskah dan jurnal. Yang jelas ada kalimat, “kami tidak bisa mengirimkan catatan Scopus ke email Anda.”

Maka berlakulah business as usual. Pertama, pengelola segera mengklaim tidak ada garansi bahwa artikel yang sudah terbit sebelumnya tetap bertahan di daftar Scopus dalam periode tertentu. Lugasnya: itu hak Scopus, bukan tanggungjawab kami! Kedua, kerja suntingan sudah selesai dilakukan redaksi. Scopus pun sudah ‘menyisir’ semua naskah bulan September atau sebulan sebelum sanksi dijatuhkan. Jadi, pengelola tidak wajib mengembalikan fee penerbitan artikel yang sudah dibayarkan penulis. Namun, sebagai bentuk simpati atas duka penulis, fee dikembalikan sebesar 70%. Setiap gugatan atas keputusan itu akan diabaikan HSSR. Ketiga, para penulis dianjurkan untuk mengajukan protes keras ke Scopus atas tindakan pembatalan indeksasi itu. Begitulah!

Jurnal Predator

Tidak sedikit jurnal ilmiah yang mengalami nasib tragis seperti itu karena tergolong predator. Entah dengan cara bagaimana, jurnal itu tetap terindeks oleh Scopus. Mungkin awalnya baik, tapi begitu namanya aman di Scopus, pengelola lalu berulah tidak profesional.

Kabar jurnal predator ini sudah lama tersiar luas. Dua pengendus utamanya adalah Beall’s List dan Cabell’ International. Beall’ List dikelola oleh Jeffrey Beall, mantan pustakawan di Universitas Colorado, AS. Ia getol merilis daftar jurnal predator sehingga banyak penerbit memprotes bahkan mengancam akan menggugatnya. Tapi tahun 2017 ia menutup blog sekaligus mengakhiri episode rilis blacklist jurnal predator. Nama yang terakhir dibidani oleh David W. E. Cabell untuk memastikan jurnal yang bereputasi sekaligus mencatat jurnal abal-abal.

Istilah jurnal predator diberikan Vít Macháček dan Martin Srholec (2021) untuk menandai jurnal yang dicurigai menyalahgunakan akses terbuka berbayar untuk meraup fee dari penulis dan melakukan praktik editorial yang cacat. Prihatin dengan jurnal predator yang mewabah di berbagai negara, mereka pun lalu menelitinya lebih cermat.

Sebagai sampel diambil 324 jurnal yang tercatat dalam daftar Beall dan Scopus. Dalam tumpukan jurnal itu ada 164 ribu artikel hasil karya peneliti dari 172 negara yang terbit selama 2015-2017. Temuannya dilaporkan dalam jurnal Scientometrics edisi Februari 2021. Menyedihkan! Sekitar 17% dari seluruh artikel tersebut masuk perangkap jurnal predator. Artinya, artikel-artikel itu juga tergolong tak bermutu. Lebih mengenaskan lagi, peringkat Indonesia ada di urutan kedua sebagai produsen artikel di jurnal predator, yakni 16,7% atau sedikit di bawah Kazakhstan sebagai jawara (17%).

Sejatinya tidak sulit mengendus jurnal predator. Salah satu modusnya, pengelola aktif menyebar informasi bahwa jurnal akan terindeks Scopus, lalu mengundang penulis mengirimakan naskah artikelnya untuk diterbitkan. Janji manis menggoda: double-blind peer review oleh ahli di bidangnya, profesional, dan diproses super-cepat. Tidak dikenakan biaya proses artikel, tapi kalau lolos (accepted), penulis wajib bayar publication fee sebelum artikel diterbitkan. Jumlahnya bisa menyentuh angka 1.500 dolar AS.

Redaksi jurnal tertutup tentang informasi fee itu. Misalnya, apakah fee berlaku untuk sekali, dua kali atau tiga kali proses review. Yang penting transfer uang, habis perkara. Sama tertutupnya dengan proses double-blind peer review. Penulis tidak pernah dikabari hasil review atas naskahnya dan apakah naskah itu benar-benar direview oleh ahli sebidang. Selain itu frekuensi terbitan berbeda dengan yang dijanjikan.

Mau contoh secara acak? Silahkan telusuri website jurnal Man in India (ISSN 0025-1569). Sekilas tidak ada yang menyolok pada jurnal ini. Namun kalau sedikit cermat, pandangan mata mudah terpaut pada kinerja yang tercatat dalam situs web-nya. Selain didirikan tahun 1921, persis seabad silam, ia juga terbit regular secara triwulan. Pernah meraih status Q2 (2014) lalu turun ke Q3 (2015-2017), tapi sesudah itu berstatus “discontinued” alias hilang dari indeks Scopus. Kredibilitasnya sebagai jurnal ilmiah pun diragukan.

Redaksi menyebut jurnal terindeks oleh lembaga lain, seperti JSTOR dan Google Scholar. Padahal semua orang paham kalau JSTOR dan Google Scholar bukan lembaga pengindeks. JSTOR adalah perpustakaan virtual yang menyediakan referensi secara online. Google Scholar sendiri hanya mesin pencari berbagai literatur di internet.

Volume 97 tahun 2017, misalnya, berisi 24 nomor atau terbit dua nomor setiap bulan, kontras dengan klaim satu nomor per triwulan. Masih di volume yang sama, pada edisi nomor 2 sedikitnya 82 artikel dimuat dengan rata-rata 13 halaman per artikel. Itu berarti satu nomor berisi lebih 1.000 halaman!

Satu lagi adalah soal referensi. Lazimnya jurnal bereputasi selalu menggunakan salah satu gaya penulisan sitasi dan referensi, misalnya APA Style. Di jurnal ini hal itu tidak berlaku. Meski ada arahan tertulis pengelola, penulis boleh saja menyusun referensi sesuka hati tanpa sensor redaksi. Pada artikel tentang migrasi di Kazakhstan, masih di volume 97 nomor 2 (2017), pembaca bisa geleng kepala melihat daftar referensi yang tidak disusun secara alpabetis. Tak satu pun referensi berbahasa Inggris.

Jangan silau

Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari tragedi jurnal ilmiah ini. Salah satu adalah tidak lekas silau dengan label Scopus pada jurnal tertentu, lalu berambisi mengirimkan artikel ke sana. Perlu dipastikan bahwa jurnal benar-benar dikelola profesional, mutu tulisan terandalkan, konsistensi cakupan terjaga, dan seterusnya.

Scopus sendiri mengakui bahwa jurnal yang terindeks hanya diminta memenuhi syarat mutu minimum. Hal ini membuka ruang bagi pengelola yang tidak profesional untuk hanya mengamankan posisi jurnal dalam indeksasi Scopus, sedangkan motif utamanya adalah meraup untung dari fee artikel.

Perlu juga membangun sikap yang menolak bangga dengan artikel yang terbit di jurnal predator. Tulisan itu pasti tidak masuk radar sitasi peneliti. Bukannya menambah, tapi menurunkan mutu ilmu pengetahuan dan mutu intelektual penulis sendiri.

Leave a Comment