Webinar PRAKARSA 2021 “Gemerlap Budaya Rajut Keberagaman Nusantara” Keberagaman di Era Disrupsi

Oleh: KAPSTRA FISIPOL UGM

PRAKARSA UGM telah menyelenggarakan kegiatan webinar yang mengusung tema “Keberagaman di Era Disrupsi” pada Minggu, 28 November 2021. Acara webinar yang diselenggarakan secara  daring melalui platform Zoom dan YouTube melalui live streaming ini menghadirkan tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda. Pertama, Aditya Ristianang selaku owner T-Shirt Tokoh yang bergerak di bidang sociopreneur dan aktif mengkampanyekan isu-isu terkini, seperti keberagaman berupa produk-produk yang dipasarkan. Pembicara kedua adalah Galih Prabaningrum, S.Sos., M.A. yang merupakan dosen dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK). Pembicara terakhir adalah mahasiswi PSdK angkatan 2019, yaitu Tuti Rokmawati. Pelaksanaan webinar dipandu oleh master of ceremony (MC) dan moderator yang merupakan mahasiswa/i PSdK, yaitu Faizah Layla dan Muhamad Ilham Hanif.

Acara diawali dengan sambutan yang dibawakan oleh Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si., selaku Kepala Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK). Beliau berharap webinar ini dapat mempererat hubungan antara mahasiswa PSdK satu sama lain serta memberikan wawasan baru terhadap adanya keberagaman di tengah era disrupsi. 

Pemaparan materi oleh Aditya Ristianang

Aditya Ristianang, selaku pembicara pertama menyebutkan bahwa generasi milenial merupakan generasi yang melek teknologi dan orientasinya pada pencapaian. Pola pikir yang dimiliki oleh Generasi Z adalah pola pikir global, mudah menerima perbedaan pandangan, namun konsekuensinya adalah identitas diri yang berubah-ubah. Dalam era globalisasi, ruang digital menjadi arena pertarungan wacana baru, sehingga T-Shirt Tokoh harus bisa menyesuaikan diri dengan adanya tuntutan di zaman sekarang, khususnya menghadapi perkembangan clothing  yang sangat cepat saat ini. Menanggapi hal tersebut, T-Shirt Tokoh berinovasi dengan membangun kolaborasi lintas kelompok, dan membuat desain yang kekinian supaya lebih diminati. T-Shirt Tokoh, yang memiliki banyak pengikut juga berusaha untuk adaptif di era disrupsi dan masa pandemi ini dengan membantu promosi usaha lain secara gratis. 

Tak hanya merchandise, sebagai wadah penyampaian pesan T-Shirt Tokoh juga membuat kanal YouTube dengan nama T-Shirt Tokoh Media yang berisikan apresiasi seni pada pekerja seni di Surakarta serta memuat konten-konten kemanusiaan. Pada akhir sesi pemaparannya, Aditya menyampaikan pesan bagi para audiens supaya dapat mempertahankan prinsip-prinsip sosial dan intelegensi sosial. Generasi muda diharapkan dapat lebih mengekspresikan dirinya secara khusus di era disrupsi seperti ini.

Pemaparan materi oleh Galih Prabaningrum, S.Sos., M.A.

Berbeda dengan Aditya yang berbicara mengenai tindakan konkretnya, Galih Prabaningrum lebih membicarakan mengenai tantangan yang mungkin ditemui di era disrupsi. Ada berbagai macam sikap dalam memandang disrupsi yang dapat menimbulkan pro kontra dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai macam justifikasi dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat. Disrupsi kemudian dapat menggantikan pemain lama yang tidak bisa beradaptasi dengan mudah dengan pemain baru yang relate dengan kondisi saat ini sehingga nantinya akan ada yang tereksklusi. Di era disrupsi kita dituntut untuk selalu berinovasi sehingga orang-orang akan berbondong-bondong untuk meningkatkan kompetensinya secara individual. Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua karena artinya ada perubahan berupa tindakan kolektif yang memudar. 

Selain itu, disebutkan juga oleh Galih bahwa disrupsi mengakibatkan banyak hal yang sebelumnya ada di ranah privat menjadi ranah publik dan kemudian akan mengarah kepada konflik. Sebagai contoh, media sosial sudah menjadi makanan sehari-hari dan pada akhirnya ketika masyarakat tidak dapat menyaringnya dengan baik, akan muncul sikap serba tau dan maha benar. Ketika ada pendapat lain yang berbeda dari apa yang dipercayai, akan ada rasa untuk menyerang orang tersebut, padahal apa yang kita percayai belum tentu benar Selain itu, praktik agama juga mengalami deprivasi. Sebelumnya, agama dipandang sebagai hal yang dikhususkan bagi setiap individu, namun saat ini sudah mulai masuk ke ranah publik. Paham keagamaan tidak lagi berdasarkan pada ajaran tertentu, tetapi kita menghamba pada Google, sebagai sumber informasi yang instan dan ditelan mentah-mentah. 

Fenomena hoaks juga merupakan salah satu tantangan yang muncul di era disrupsi. Apabila tidak ditanggulangi, hoaks dapat memperbesar perbedaan pendapat dan konflik. Literasi digital masyarakat juga masih kurang sehingga sulit untuk membedakan antara berita hoaks dan fakta. Sebagai mahasiswa, kita perlu untuk berpikir kritis dan mengedukasi orang-orang di sekitar kita. 

Pemaparan Materi Oleh Tuti Rokmawati

Menurut Tuti Rokmawati, sebagai mahasiswa, kita memiliki privilese sebagai agen perubahan karena suara anak muda sangat berarti bagi masyarakat dan dapat menjadi social control. Anak muda adalah penerus bangsa yang diibaratkan sebagai cadangan besi. Sesuai dengan kalimat “terbentur, terbentur, terbentuk”, saat ini anak muda sedang “dibenturkan” yang harapannya nantinya dapat terbentuk dan membawa perubahan bagi bangsa. 

Disrupsi merupakan sebuah era inovasi dan perubahan secara besar-besaran. Perubahan dan inovasi ini terjadi karena adanya teknologi yang sudah maju. Akan tetapi, teknologi dapat melahirkan matinya otot yang menyebabkan banyaknya profesi yang tergantikan oleh teknologi, matinya jarak yang menyebabkan kita dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa batasan jarak, dan muncul kecerdasan buatan, misalnya dapat bisa menyimpan berbagai macam hal. 

Indonesia merupakan negara aktif ketiga di media sosial. Akan tetapi, media sosial juga membawa konsekuensi, misalnya dapat menggiring isu. Terdapat perbedaan antara orang tua dengan Generasi Z. Orang tua cenderung mengikuti contoh yang baik dari leluhurnya, sedangkan Generasi Z cenderung mengikuti sesuatu yang viral di media sosial. Dalam hal ini perlu kuatnya narasi antar generasi muda untuk mengontrol sesuatu yang muncul di media sosial. 

Tuti bercerita bahwa saat berkunjung ke Kalimantan Selatan, anak-anak di sana cenderung tidak mengetahui apa saja hal-hal yang sedang viral di media sosial karena keterbatasan teknologi sehingga kita sebagai anak muda memiliki peran untuk menciptakan sesuatu yang viral namun positif dengan harapan anak-anak yang ada di provinsi tersebut dapat mengetahui informasi-informasi yang membawa perubahan positif.  Untuk menciptakan perubahan, terdapat beberapa hal yang dilakukan yaitu kembali ke fitrah kita, yaitu dengan melakukan kegiatan yang dianggap baik. Terdapat tiga tingkatan perubahan: be the good one, be the best one, dan be the excellent one. Kita dapat mengambil contoh pada jalan hidup B. J. Habibie. Habibie menghasilkan habibie-habibie lainnya melalui lembaga pendidikan yang dia ciptakan, sehingga di sini diharapkan kita juga dapat menghasilkan anak-anak muda sebagai agen perubahan ke arah yang positif. 

Menurut Tuti, perubahan besar tidak akan terjadi kalau tidak ada perubahan-perubahan kecil dari diri kita. Maka, untuk melakukan perubahan itu, kita bisa melakukan perubahan evolusi secara lambat dan melakukan perubahan secara revolusi yakni secara cepat. Hal-hal kecil ini dapat kita mulai dari diri sendiri, seperti berani mengingatkan dan menegur ketika kita berbuat sebuah kesalahan. Tidak hanya itu, kita sebagai anak muda juga perlu menyaring informasi-informasi yang kita dapatkan sehingga melalui informasi tersebut kita dapat menciptakan perubahan. Kita dapat menghindari dampak-dampak buruk disrupsi sedari awal dengan cara membuka pemikiran terhadap perbedaan yang ada dan mengolah informasi yang kita terima secara komprehensif dan skeptis menggunakan kompas moral pribadi. Selain itu, kita juga harus dapat melahirkan banyak generasi baru dengan pemikiran yang baik dan memberikan peninggalan yang baik juga. 

Sebagai penutup sesi dari para pembicara, Hanif selaku moderator menyampaikan beberapa kesimpulan sekaligus harapan setelah adanya Webinar Keberagaman di Era Disrupsi ini. Generasi muda diharapkan dapat lebih mengekspresikan dirinya dan melalui kecepatan teknologi yang disajikan, dan berinovasi serta beradaptasi dengan baik. Masing-masing dari kita memiliki peran untuk mempertahankan keberagaman Indonesia sehingga perlu untuk tetap saling jaga terlebih di era disrupsi saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

advanced divider
Kategori