Oleh: KAPSTRA FISIPOL UGM
Sabtu (09/10) lalu, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan menyelenggarakan diskusi dan webinar sebagai acara puncak Dies Natalis ke-64. Adapun tema dalam acara puncak ini adalah “Making Sustainable Opportunity during Post COVID-19 Recovery”. Acara puncak ini terdiri dari beberapa rangkaian acara, mulai dari sesi keynote speech yang dibawakan oleh Bapak Sigit Reliantoro, M.Sc. (Plt. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI), sesi Youth Voice for Sustainability, sesi Inspirational Session with Alumni yang menghadirkan beberapa alumni PSdK yang kini memiliki peran dan kontribusi sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Selanjutnya, acara puncak ini ditutup dengan sesi webinar yang membahas implementasi pembangunan berkelanjutan di masa pemulihan dari pandemi dari perspektif pembicara yang berbeda, mulai dari perspektif pemerintah, perusahaan, NGO, dan akademisi.
Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) turut berpartisipasi dalam acara puncak Dies Natalis ke-64 ini, terutama dalam sesi Youth Voice for Sustainability. Pada sesi ini, KAPSTRA bersama beberapa himpunan mahasiswa universitas di Indonesia menyuarakan pandangan dan aksi yang telah dilakukan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan melalui implementasi tujuan sebagaimana tercakup dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Sesi ini dimoderatori oleh Tuti Rokmawati selaku mahasiswi PSdK sekaligus pengurus KAPSTRA.
Sebagai pembicara pertama, Maureen Wanda Shabrina hadir sebagai perwakilan Himpunan Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia. Maureen mengawali pembicaraan dengan berbagi kisah perjuangannya untuk memasuki perguruan tinggi di tengah kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung. Maureen berkeyakinan bahwa sebagai warga negara, ia berhak mendapat pendidikan, terlepas dari bagaimanapun kondisinya. Hal ini selaras dengan konsep pendidikan inklusif yang bermakna pendidikan yang ramah untuk semua, termasuk mereka yang rentan rentan baik secara ekonomi, etnis, agama, gender, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Menurutnya, tantangan yang kita hadapi sekarang adalah belum adanya pemahaman yang komprehensif terhadap pendidikan inklusif, normalisasi ABK, sikap penerimaan masyarakat akan keragaman, dan kesenjangan kualitas pendidikan. Maureen menuturkan beberapa upaya yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, seperti bersikap kritis dan menumbuhkan rasa empati yang dapat diimplementasikan melalui penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Upaya ini diwujudkan HMIKS dengan aktif melakukan pengabdian masyarakat di wilayah terdekat, salah satunya menyasar kepada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Mereka juga bersedia mengadvokasikan hak-hak warga negara terhadap pendidikan. “Education for all” seharusnya bukan menjadi slogan semata, tetapi juga menjadi solusi alternatif untuk pendidikan. Pendidikan seharusnya bisa membawa kita kepada kebijaksanaan untuk memanusiakan manusia.
Pembicara kedua adalah Kafiefa Windiariesti, perwakilan Universitas Mulawarman yang mengangkat isu kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan SDGs. Menurutnya, kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan mengefektifkan jalannya regulasi. Sayangnya, Indonesia belum mencapai target-target kesetaraan gender yang dimuat dalam SDGs, terlebih poin kedua, yaitu mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Masih banyak kasus kekerasan yang bertentangan dengan poin kedua tersebut. Contohnya, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan dan anak-anak di masa pandemi. Berbagai cara telah dilakukan masyarakat, termasuk anak muda dalam memerangi isu kekerasan seksual. Salah satunya melalui gerakan sosial berupa aksi massa untuk memaksa pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam memerangi kekerasan seksual. Universitas Mulawarman telah menyuarakan kampanye aksi anti kekerasan seksual dengan berkolaborasi bersama pegiat perempuan dan LSM untuk menuntut pemerintah menghapuskan segala bentuk kekerasan seksual menggunakan regulasi yang tepat. Selain itu, diskusi ilmiah dan sharing session juga dilakukan guna meningkatkan kesadaran akan bahaya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Sebagai penutup, Kafiefa mengatakan bahwa permasalahan gender adalah tantangan bagi kita semua dan solusi terbaik perlu diupayakan.
Pembicara ketiga ialah Aulia Rahmawati perwakilan dari Universitas Padjadjaran yang turut membicarakan isu gender dengan berfokus pada tindak kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi. Merujuk pada Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan ialah segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi atas dasar perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, pembatasan, kebebasan, baik yang terjadi di area publik maupun domestik. Aulia menekankan bahwa ruang aman untuk perempuan sudah sangat terbatas, bahkan di ranah domestik sendiri atau lingkup terdekat dari perempuan. Kekerasan terhadap perempuan juga tidak terbatas pada status atau penampilan tertentu. Pada nyatanya, pembatasan aktivitas di ruang publik di tengah pandemi pun tidak serta merta menghapuskan kekerasan yang terjadi pada perempuan di ruang publik. Melakukan aktivitas dari rumah saja juga tidak serta merta membuat perempuan aman dari kekerasan. Di ranah privat atau domestik, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 4% pada tahun 2020, dari 75% menjadi 79%. Untuk merespon keresahan terhadap tindak kekerasan pada perempuan ataupun diskriminasi pada gender, HIMAKS UNPAD bersama dengan BEM FISIP UNPAD dan jajaran dosen sedang mengembangkan suatu platform aspirasi untuk menampung keluh kesah dan kekhawatiran dari para mahasiswa. Nantinya aspirasi yang masuk melalui platform tersebut akan mendapat respons dari para profesional di bidang terkait. Aulia bersama dengan teman-teman HIMAKS UNPAD terus mengupayakan untuk menjadikan lingkungan organisasi dan kampus menjadi lebih inklusif dan bebas dari kekerasan gender.
Selanjutnya, pembicara keempat berasal dari Universitas Gadjah Mada yang diwakilkan oleh Buhari Ramadani membahas mengenai kontribusi KAPSTRA pada isu lingkungan. Dengan narasi pembuka berupa slogan no one left behind atau tidak ada satupun yang tertinggal, Buhari menekankan bahwa selain menjadi bagian dari target pencapaian SDGs, pemuda juga bisa menjadi subjek atau pelaku pembangunan lewat kontribusi nyata. Buhari lalu menceritakan kontribusi yang telah dilakukan oleh KAPSTRA. Petama, Kapstra Foundation (KAFOUND) pada bulan Maret lalu menggelar diskusi SDGs Talk mengenai sanitasi dengan menggandeng Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dalam diskusi tersebut didapatkan satu topik yang cukup penting yakni krisis air di Yogyakarta yang diperkuat oleh privatisasi air oleh hunian mewah, pembuangan limbah domestik ke sungai, dan pembangunan infrastruktur pariwisata yang masif tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Hal tersebut akhirnya berimplikasi pada isu lain seperti climate change dan berdampak pada penurunan air tanah, gagal panen, banjir dan ancaman krisis ekologis lainnya. Kedua, teman-teman Sosial Masyarakat KAPSTRA juga turut melakukan aksi relawan di Meratus kepada masyarakat yang terdampak banjir. Melalui video dokumenter yang diputar pada awal sesi, relawan dari KAPSTRA berbicara mengenai ketimpangan dan kurangnya pertimbangan aspek keberlanjutan lingkungan pada program pembangunan. Ketiga, dari teman-teman Hubungan Masyarakat yang menggembangkan kemitraan dengan menggelar diskusi bersama Corporate Social Responsibility (CSR) Tokopedia, dan mempelajari peran korporasi untuk memberikan dampak kepada masyarakat dan lingkungan. Terakhir, pada peringatan World Clean Up Day Provinsi Yogyakarta, teman-teman KAPSTRA turut menjadi relawan dalam bersih-bersih sampah di sungai. Sebagai penutup, Buhari menuturkan bahwa untuk mencapai goals dari pembangunan berkelanjutan dibutuhkan lebih banyak anak muda untuk berpartisipasi melalui platform yang tersedia. Dibutuhkan kolaborasi lintas aktor untuk dapat menciptakan pembangunan yang komprehensif, adil, dan tidak memunculkan kelompok marjinal.
Pembicara terakhir, Monica Ediesca dari Universitas Tanjungpura menekankan pandangannya pada perwujudan tujuan SDGs ke-12, yaitu konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Monica memaparkan bahwa persoalan food less dan food waste menjadi tantangan dan permasalahan yang penting untuk kita sadari. Ia juga menceritakan keresahannya mengenai minimnya kesadaran masyarakat di tempat tinggalnya akan urgensi limbah makanan. Keresahan tersebut akhirnya membuat Monica dan teman-teman Himpunan Mahasiswa Pembangunan (HMPS) Sosial Universitas Tanjungpura melakukan aksi dengan bekerja sama dengan pemuda di Pontianak untuk menyuarakan campaign zero food waste lifestyle, dengan mengajak masyarakat sebagai konsumen untuk menerapkan konsep reuse pada makanan yang dikonsumsi. Gerakan tersebut juga menyimpan harapan agar bisa berdampak pada masyarakat dan seluruh elemen lainnya, seperti pemerintah yang memiliki hak dalam memutuskan kebijakan yang dapat mengatasi masalah food less dan food waste. Monica juga berpesan bahwa sebagai anak muda, penting untuk mulai menyadari dan melakukan tindakan konsumsi yang secukupnya.
Berbagai pandangan dan aksi nyata dalam sesi Youth Voice for Sustainability diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi anak muda lainnya, untuk turut berpartisipasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yang dapat dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan prinsip ‘no one left behind` dalam pelaksanaan SDGs yang mengartikan bahwa semua orang, tidak terbatas oleh latar belakang apapun termasuk usianya untuk turut berpartisipasi.