Yogyakarta, 10 April 2023 – Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM mengadakan diskusi Social Development Talks (SODET) dengan tajuk “Menakar Ulang Aksi Pelayanan Sosial Berbasis Agama dalam Pembangunan Sosial yang Inklusif” pada Senin (10/4). Tujuan diskusi ini untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada khalayak publik terkait aksi pelayanan sosial berbasis agama untuk mendukung pembangunan sosial yang inklusif.
Acara ini diselenggarakan secara bauran melalui platform Zoom dan Briwork Fisipol, UGM. SODET menghadirkan Drs. Suparjan M.Si. selaku Dosen PSdK dan Sri Bayu Sela Adji S.Psi., MPD. selaku Sekretaris Umum Pelkesi (Persekutuan Layanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia) yang kemudian dimoderatori oleh Zulaikha Mahmudi (Mahasiswa Magister PSdK)
Diskusi dibuka oleh pemaparan materi dari Drs. Suparjan M.Si. mengenai relevansi dan peranan agama di dalam pelayanan sosial yang inklusif, dinamika keagamaan umat beragama di indonesia, serta urgensi pelayanan sosial di dalam pembangunan sosial. Praktik pelayanan sosial tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang diajarkan masing-masing agama. Praktik tersebut terus berkembang mulai dari bentuk yang paling sederhana seperti charity, pemberdayaan umat, hingga bentuk yang lebih kompleks yakni advokasi kebijakan. Akan tetapi, masih jarang lembaga keagamaan yang melakukan penilaian seberapa besar dampak yang diberikan terhadap umatnya secara khusus maupun masyarakat secara umum melalui kegiatannya.
Kemudian, munculnya pelayanan sosial berawal dari kegiatan filantropi. Filantropi apabila merujuk pada bahasa Yunani yang berarti “mencintai manusia”. Ini menegaskan bahwa praktik filantropi senantiasa mendorong setiap manusia untuk menolong sesama keluar dari kesengsaraan. Namun, seiring berkembangnya zaman, peran agama telah bergeser menjadi upaya deprivatisasi di mana banyak dimensi yang mewarnai dinamika pelayanan sosial. Peran agama di ruang publik semakin meluas dan fenomena tersebut tidak hanya terjadi di “Dunia Islam”, melainkan juga belahan dunia lain yang secara kultur keagamaan dipengaruhi oleh tradisi kristen.
Selanjutnya, Drs. Suparjan M.Si. memberikan gambaran bahwa kegiatan pelayanan sosial yang berada dibawah naungan agama lebih sensitif menimbulkan konflik, sementara pentingnya filantropi sosial sebagai instrumen pendorong perubahan sosial belum begitu disadari oleh masyarakat luas. Ini tergambarkan oleh upaya menampung korban gempa oleh gereja yang dianggap masyarakat sebagai upaya kristenisasi. Skeptisisme ini dapat memicu konflik antar umat beragama.
Terakhir, dalam upaya mewujudkan pelayanan sosial inklusif menemui berbagai hambatan, seperti lemahnya implementasi nilai universalitas kemanusiaan dalam praktik pelayanan sosial. Sementara itu, misi besar praktik pelayanan sosial pada dasarnya untuk memberikan rahmat bagi alam semesta; Kemudian, persoalan metode dan evaluasi pengukuran dampak dan kinerja dari pelayanan sosial belum ada; serta rendahnya kesadaran umat mengenai pentingnya pelayanan berbasis agama untuk kepentingan bersama.
Materi kemudian dilanjutkan oleh Sri Bayu Sela Adji S.Psi., MPD. selaku Sekretaris Umum Pelkesi (Persekutuan Layanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia) yang membahas mengenai Genealogi transformasi pelayanan kesehatan kristen. Ia menguraikan bahwa masalah pembangunan kesehatan berupa biaya yang mahal hingga pelayanan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang top-down. Selanjutnya, Ia menjelaskan bahwa awal berdirinya kegiatan pelayan kesehatan kristen global pada 1964 yang tidak hanya berorientasi pada pendekatan medical, namun juga pastoral (spiritual) dan sosial (kemiskinan, kelaparan, sanitasi yang buruk, dan air bersih). Seiring berkembangnya zaman, layanan kesehatan kristen tidak hanya kuratif, namun telah bergeser ke upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk mendukung perubahan sosial. Sehingga dapat dikatakan bahwa social responsibility menjadi dasar munculnya pelayanan sosial yang kemudian memanfaatkan berbagai hal untuk mendukung perkembangannya.
Selanjutnya, semakin berkembangnya pelayanan kesehatan berbasis agama memicu masyarakat untuk mendorong lembaga pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih inklusif. Aspek penting dalam inklusi yang dimaksud meliputi sikap, komunikasi, aksesibilitas fisik, dan partisipasi. Sikap diartikan sebagai tidak adanya stigma dimana semua pihak mendapatkan pelayanan secara penuh; komunikasi dimana tidak adanya hambatan komunikasi agar penyampaian informasi dapat optimal; aksesibilitas fisik yang dimaknai sebagai tersedianya infrastruktur yang memadai; Terakhir, partisipasi dimana setiap orang terlibat.